Thursday, September 11, 2008

PT DI di Bawah Bayang-bayang Duopoli Boeing-Airbus

PADA tahun 1987, di sela-sela menghadiri Pameran Kedirgantaraan Paris, penulis sempat berbincang dengan pejabat salah satu pabrik pesawat Perancis. Mengetahui bahwa di Indonesia juga ada pabrik pesawat IPTN, pejabat tadi menyatakan dukungannya pada ikhtiar Indonesia.
DISEBUTKAN setiap ada kontribusi dari satu negara terhadap penyediaan pesawat terbang di pasar maka itu baik bagi pasar karena pembeli bisa memilih dan memilih lebih banyak. Coba kalau di dunia hanya ada satu pembuat pesawat, pastilah terjadi monopoli dan pembeli akan didikte oleh satu-satunya penjual tadi mengenai harga dan persyaratan lainnya.
Menempatkannya dalam konteks persaingan Eropa dan Amerika dalam pesawat penumpang maka jelaslah maksudnya: dunia sebaiknya memang tidak bersandar pada Boeing dalam pasokan pesawat penumpang komersial. (Sekadar catatan, Eropa mulai memikirkan untuk menyaingi Boeing pada tahun 1965. Yang pertama dipikirkan waktu itu adalah membuat tandingan bagi pesawat Boeing yang berkapasitas 200 penumpang dalam kelas 707, atau kalau di luar Boeing DC-8, tetapi yang mengonsumsi bahan bakar separuh dari kedua jet tersebut, dan juga dengan tingkat kebisingan lebih kecil. Akhirnya, Airbus Industrie pun didirikan Desember 1970 dengan proyek pesawat jenis baru di atas yang dikenal dengan nama A-300B.)
Tahun 1987 itu Airbus yang belum genap berumur dua dasawarsa tentu merasa pihaknya mengemban misi untuk tidak membuat pasar pesawat dunia-khususnya untuk pesawat penumpang besar-jatuh ke monopoli Boeing.
Kini, di awal abad ke-21, cita-cita Airbus boleh jadi telah tercapai untuk menjadi pembuat pesawat yang sehebat Boeing, atau sekarang malah sudah mengungguli. Membaca Airbus Letter, semacam jurnal resmi yang dikeluarkan konsorsium Eropa ini, terpancar optimisme dan kepercayaan diri yang besar. Dikatakan dalam edisi Oktober 2003, meskipun menghadapi tantangan ekonomi yang berat, Airbus tetap saja mendominasi pasar global pesawat komersial, dengan pesanan pasti hingga bulan September sebanyak 241 dari 17 pembeli di berbagai penjuru dunia. Ditambahkan pula, sebagai penegasan terhadap daya tariknya yang tinggi, konsorsium ini mendapatkan tiga pembeli baru.
Sementara itu, kalau sebelumnya Boeing selalu berada di atas dalam pesanan pesawat berbadan lebar, hal itu kini juga berangsur-angsur dirongrong oleh Airbus. Pesawat terbaru A-380 yang dua setengah tahun lagi akan mulai dioperasikan total sudah terjual sebanyak 129, dengan pembeli terakhir adalah Korean Air dan Malaysia Airlines.
Pada awal dekade ketiga eksistensinya, Airbus total telah menyerahkan 3.326 pesawat hingga September 2003. Lalu untuk tahun 2003 sendiri, dari target menyerahkan 300 pesawat, sampai kuartal ketiga sudah dipenuhi 199. Kapasitas produksi yang hampir mendekati satu pesawat per hari itu disebut karena dukungan alur produksi paling modern, yang digabung dengan tenaga kerja yang sangat terampil, kebijakan industri yang bijak, serta pendekatan berfokus ke pelanggan. Pesawat yang diserahkan ke pembeli pun mencakup berbagai tipe, mulai dari A-318, 319, 320, 321, 300, 330, hingga 340. Yang terakhir ini, versi 340-500, awal Desember 2003 terbang nonstop dari Dubai ke Sydney selama 14 jam. Walaupun jet ini dirancang untuk bisa terbang nonstop selama 17 jam, hal ini menjadikannya pesawat penumpang berjelajah paling jauh.
Ke depan, dilambari keyakinan akan terus meningkatnya kebutuhan pesawat berkapasitas besar-keyakinan ini sendiri didasarkan pada membaiknya perekonomian dan khususnya pertumbuhan tinggi di wilayah seperti Asia Timur, Airbus tampaknya akan mempersiapkan diri untuk memproduksi pesawat berkapasitas sampai 1.000 penumpang.
BOEING yang lahir setelah William Boeing membeli Pacific Aero Products Co di Seattle tahun 1916 dan setahun kemudian mengganti namanya menjadi Boeing Airplane Co sebelum era Airbus memang dikenal sebagai rajanya pesawat jet penumpang, dengan lebih dari 11.500 pesawat yang telah diproduksinya. Seri 747 adalah yang paling terkenal di antara pesawatnya yang berkode tiga angka dengan awal dan akhir 7 ini. Seri 777 yang mulai diuji tahun 1994 memberi pembaruan dalam penerbangan. Boeing berkeyakinan mesin turbofan modern sudah sangat bisa diandalkan sehingga pesawat berpenumpang 500 orang masih bisa ditopang oleh dua mesin saja.
Di masa lalu pesaing Boeing adalah McDonnell Douglas yang kini sudah ditelannya dan membuat pesawat MD-95 berubah menjadi B-717. Tetapi, dengan berdirinya Airbus, lingkup persaingan pun menjadi trans-Atlantik.
Sebagai satu realita, sebagaimana disitir oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Rajasa dalam Seminar "Pengembangan Teknologi Pionir Kedirgantaraan" di Jakarta, 9 Desember, memang pembuat pesawat penumpang berkapasitas di atas 200 penumpang kini hanya Boeing dan Airbus. Sementara dari sekitar 10 pabrik yang memproduksi pesawat berkapasitas di bawah 200 penumpang, yang kini bertahan hanya tinggal dua, yakni ATR dan Embraer.
Dalam situasi seperti sekarang ini, sementara kebutuhan pesawat besar akan terus berkembang, apakah dunia rela hidup dalam duopoli Boeing dan Airbus, tanya Prof Rahardi Ramelan dalam seminar yang sama, Selasa (9/12) siang itu.
ATAS pertanyaan tersebut, tentunya bukan saja Indonesia yang harus menjawab, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. Rela terus hidup dalam duopoli Boeing-Airbus, artinya selamanya orang harus bersedia menerima harga dan persyaratan yang diajukan oleh keduanya.
Rahardi juga menyebutkan memang dari luar sering kali terdengar pertikaian sengit antara pabrik Amerika dan Eropa tersebut, tetapi pernahkah kita mendengar hal itu diselesaikan di Organisasi Perdagangan Dunia WTO? Baik AS maupun Eropa tentunya lebih suka menyelesaikan pertikaian yang ada di balik layar agar negara-negara lain tidak bisa melihat jelas siapa sebenarnya yang bersalah dan memetik keuntungan.
Mengangkat isu ini tentu saja mudah menimbulkan dugaan, ada kubu lain yang bisa menantang dominasi keduanya di industri manufakturing kedirgantaraan. Dalam lingkup satu negara, kalaupun ada keinginan semacam itu, sekarang ini bisa dikatakan hanya merupakan khayalan semata.
Industri kedirgantaraan mensyaratkan tingkat penguasaan sains dan teknologi tingkat tinggi, kapital yang astronomis, dan tentu saja tenaga kerja terampil, mampu bekerja efisien, serta didukung oleh manajemen istimewa, hal-hal yang juga berkaitan dengan kultur tinggi.
INDONESIA, negara yang bertata wajah geografis kepulauan, dengan rentang besar sejauh 5.000 km, seukuran Amerika Kontinental atau sejauh London-Moskwa, semestinyalah wajar memikirkan industri kedirgantaraan. Tidak kurang Bung Karno sendiri selaku Bapak Bangsa telah menguraikan pentingnya penguasaan kedirgantaraan ini di awal tahun 1950-an. Ide yang hidup pada Bung Karno tampaknya juga sudah hidup di benak pionir seperti Nurtanio Pringgoadisuryo dan Wiweko Supono.
Kedua tokoh kedirgantaraan Indonesia ini sudah menekuni rekayasa pesawat sejak muda, pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, dan mereka teruskan setelah era Kemerdekaan. Keduanya di bengkel sederhana di Magetan melahirkan pesawat layang Zogling NWG-1 dari kayu hutan yang mereka tebang sendiri.
Ketika Nurtanio tugas belajar di Filipina, Wiweko membuat pesawat WEL-RI-X (Wiweko Experimental Light-plane) tahun 1948. Sekembali di Indonesia tahun 1950, Nurtanio melanjutkan kegiatan memelopori industri kedirgantaraan Indonesia dengan mengembangkan antara lain pesawat Si Kumbang, Kunang-kunang, Belalang. Berikutnya Nurtanio juga membidani lahirnya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip), yang setelah Nurtanio gugur dalam uji coba pesawat tahun 1966 diubah namanya menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur).
Era Nurtanio dilanjutkan oleh BJ Habibie, insinyur aeronautika alumnus Aachen, Jerman, yang setelah ditugasi Ibnu Sutowo mengembangkan Divisi Teknologi Maju di Pertamina lalu memimpin PT Nurtanio yang didirikan Agustus 1976.
Bila Nurtanio dulu menggandeng Polandia dengan pesawat mesin tunggal PZL-104 Wilga-32 untuk ia jadikan basis industri (setelah diproduksi Lapip tahun 1963 oleh Presiden Soekarno diberi nama Gelatik), Habibie menggandeng CASA Spanyol yang memberi lisensi bagi perakitan NC-212 Aviocar. Seiring dengan itu PT Nurtanio juga mendapatkan lisensi perakitan helikopter Jerman BO-105 dan heli Perancis Puma dan Super Puma.
Melalui Program Empat Tahapan Transformasi Teknologi/Industri, PT Nurtanio yang namanya lalu diubah menjadi IPTN tahun 1986 ini juga melanjutkan kerja sama dengan CASA membuat CN-235 sebagai perwujudan Tahap Kedua.
Tahap Ketiga menghadirkan N-250, pesawat penumpang bermesin dua berkapasitas 50 penumpang yang hanya bisa berhenti sampai tahap prototipe. Sempat disinggung program pembuatan jet N-2130 (bermesin dua untuk 130 penumpang), tetapi kemudian pecah krisis moneter tahun 1997 dan program yang sempat diiringi dengan penjualan saham itu lalu pupus disapu awan.
Seiring dengan itu, nasib IPTN pun ikut sengsara. Perusahaan yang sekali lagi mengubah namanya tahun 2000 menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) terus saja terlilit permasalahan. Rasionalisasi yang mahal bisa mengurangi beban perusahaan, yaitu dengan mengurangi jumlah karyawan dari sekitar 16.000 menjadi 9.000. Namun, jumlah ini pun tampaknya masih dirasakan berat bagi industri yang ketika sedang dalam zaman keemasannya pernah disebut "Everett dari Timur". (Everett adalah kota dekat Seattle, yang menjadi pusat perusahaan Boeing.)
Upaya untuk mengurangi jumlah karyawan menimbulkan kemelut yang sangat memprihatinkan. Meski sempat diberitakan dengan nada mineur, "dari membuat pesawat lalu membuat panci dan antena, produksinya ditukar beras ketan dan taksi", sesungguhnya PT Nurtanio/IPTN/PT DI tetap menyimpan misi besar bagi Indonesia. Sayang memang bahwa-sebagaimana dengan proyek besar lain di negeri ini-hasilnya merupakan miniatur praksis makro pemerintah Orde Baru: gagal karena inefisiensi dan keliru fokus.
Seandainya demo penguasaan teknologi dikurangi dan ikhtiar penyempurnaan difokuskan pada NC-212 dan CN-235 dan semua dijalankan dengan efisien dan ditambah dengan komunikasi politik yang lebih lancar dari manajemen besar kemungkinan industri ini bisa menyusuri nasib lebih baik.
Tetapi, nasi telah jadi bubur.
MESKI terpuruk, bangsa Indonesia tetap harus menghidupkan tekad untuk mempertahankan kelangsungan PT DI. Hanya saja, langkah ke depannya harus ditata ulang agar tidak mengulangi kekeliruan yang terjadi sebelumnya.
Hakikat industri kedirgantaraan bagi Indonesia adalah mengisi kemerdekaan dan mensyukuri eksistensi Indonesia, satu arkipelago dan benua maritim terbesar di dunia. Dalam skala dunia, betapa pun industri Indonesia masih bayi dan kecil, ia menjadi penyumbang bagi kemajuan peradaban dunia. Cara menyumbangnya tidaklah seperti Boeing atau Airbus, tetapi misalnya saja seperti Embraer atau sejauhnya CASA. Kalau ia sukses, pastilah maraknya industri angkutan udara Indonesia dewasa ini bisa mengurangi impor pesawat tua yang di negaranya sana sudah digolongkan ketinggalan zaman.

Sumber: Kompas, Sabtu, 13 Desember 2003

No comments: