Thursday, August 28, 2008

Tech Designer / Drafter (CATIA)

Our client specialises in the design and production of high quality components and systems for applications in the civil and defence Aviation / Aerospace markets. With over 50,000 staff and customers in 150 countries they are suppliers to a large majority of the world's aircraft manufacturers, and support equipment in the field with airlines and air forces worldwide.Our client is globally recognized for their international leadership in aircraft fuel systems including fluid power, electrical distribution and control, and sensor components and systems, and they have unique expertise in bespoke engineering on many of their products including ducting, actuation and control systems in aero engines.

Primary Function:

Creation and modification of 2D drawings using CAD software. Creation of solids models and assemblies from layouts provided by engineering. Completion of Engineering Changes on existing product with a requirement of ensuring that all details on the print (including BOM, notes, dimensions, change notice information etc.) are complete. Interaction with the Project Data Management systems to receive, work on and then submit to process flow to next activity. Employee will be expected to learn, recognize and understand the various products, how they function and where they are used. Employee should also gain a good understanding of Clients BOS system and philosophy, strive for constant improvement and participate in a team-oriented approach to improve existing products.

Essential Functions:

o Prepare/check installation, new assembly, subassembly, and detail drawings and review/check existing drawings and other documents according to Eaton's Engineering Standards.

o Ensure clarity and accuracy of drawings.

o Provide producibility, design-for-manufacturing, and production readiness reviews.

o Provide technical support internally and externally.

o Prepare/review project requests to ensure all information is clear and all requirements are understood.

o Maintain Eaton Engineering Design Standards up-to date.

o Check co-workers projects for accuracy prior to final release as required.

o Prepare and control customer SDRL deliverableso Bill of Material managementSpecialised Knowledge:" Associated degree in Drafting Technology, Mechanical Design or equivalent work experience." Catia V5 solids modeling, Catia V5 Drafting, CADAM drafting, GD&T, PDM system Matrix 1; blueprint reading and mathematical skills" Applied knowledge in mechanical component design and detailing or equivalent.

If interested and feel you have the necessary skills for the requirement please forward your C.V to: Jenna.beard@serl.co.uk -Jenna Beard Aviation Recruitment Consultant.

Date Advertised: 27 Aug 2008

CAD Draughtsperson Opportunity!

Vacancy- CAD Draughtsperson

Location- Surrey, Sussex, London, Oxfordshire, Hertfordshire

Salary- £28K

A subsidiary of a world leader is looking for a CAD Draughtsperson to join their team. You will be responsible for producing customer specific drawings for IBS, Radar and military systems.Responsibilities will include:

  • Produce electro mechanical drawings from engineers sketches·Produce bridge layout designs with help from engineers
  • Carry out any other reasonable management requestSuccessful applicants will be a Draughtsperson with AutoCAD knowledge.
  • Background in the marine environment would be an advantage, as would knowledge of electro-mechanical engineering.
  • This is a fantastic opportunity to join a world leader, which values its employees and offers excellent career progression potential and will invest heavily in your own personal development!

To apply please send your CV to m.trevor@jamjobs.co.uk

Gerilya yang Kembali Menjadi Gerilya

Oleh: HARIADI SAPTONO

Ini cerita tentang empat raja. Tahun 1985-an, Kaisar Jepang Hirohito (1901-1989) masuk koran dan televisi, bukan karena ia membuat keputusan politik penting. Liputan koran dan televisi, agak khusus ketika itu: menceritakan beberapa ekor ikan koki, spesies khusus yang digambarkan sangat indah, hasil rekayasa biologi yang dikerjakan Sang Kaisar yang pakar biologi laut itu. Tentu saja, tamu negara itu sangat terkesan pada Kaisar yang membukukan sendiri hasil-hasil penelitiannya itu.
Cerita kedua datang dari Sangkot Marzuki (Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam Diskusi Panel Harian Kompas tentang Raja Chulalonkhorn atau Rama V (1835-1910), ahli astronomi. Tradisi keilmuan di kalangan kerajaan digunakannya untuk mengundang sejumlah duta besar negara Barat untuk membuktikan ramalannya tentang gerhana bulan.
"Benar saja, mereka kemudian menunggu di tepi sungai menyaksikan malam gerhana bulan itu benar- benar terjadi," kata Direktur Lembaga Biologi Mulekuler Eijkman, Jakarta, itu tentang Raja Thailand, yang menghadiahkan patung gajah di Museum Gajah Jakarta itu.
Kalau sang kakek buyut bisa memprediksi detik-detik gerhana bulan, cicitnya Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX), sebulan lalu bisa meredakan gerhana politik. Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra kontan bertekuk lutut, dan menyatakan diri mundur dari tampuk kekuasaan setelah sang Raja memintanya memikirkan kepentingan rakyat. Raja keempat, di kaki Gunung Himalaya, Gyanendra, justru terlibat dalam pertengkaran politik dalam negeri Nepal dengan rakyatnya sendiri.
Cerita tentang "Raja Gerhana Bulan" tadi, menurut Sangkot, merupakan anekdot bagus, bagaimana leadership itu amat penting, bukan cuma dalam orientasi politik, tetapi juga dalam ayunan ke mana strategi sains dan teknologi suatu bangsa akan digerakkan. Cerita tiga raja pertama tadi niscaya merupakan kenangan indah bagi anak bangsa, dan menguatkan mereka, bagaimana kerja keras ilmuwan yang sepi dari publikasi dan sering juga tanpa imbalan memadai, sebenarnya memberi sumbangan besar suatu saat.
Itu sebabnya, peserta diskusi setengahnya ragu, benarkah negeri lain juga punya agenda terstruktur, semacam grand strategy dalam pengembangan sains dan teknologi. Itu setidaknya muncul dalam diskusi pakar fisika Johanes Surya (moderator), peneliti ilmu sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Thung Julan, Wakil Ketua LIPI Lukman Hakim, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, serta Kepala Pusdiklat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Nadirah.
Sains dan teknologi atau iptek tidak menjadi prioritas dalam sepuluh tahun terakhir. Secara agak mengherankan, di zaman Orde Baru dulu, program pengembangan sains dan teknologi—khususnya pengiriman mahasiswa dan tenaga-tenaga terdidik ke luar negeri—malahan dijalankan selama 18 tahun, sejak tahun 1985. Tiga program utamanya, OFP (Overseas Fellowship Program), STMDP (Science and Technology Manpower Development Program), dan STAID (Science and Technology for Industrial Development) dengan dana masing-masing dari Bank Dunia, Jepang, dan gabungan Bank Dunia dan Jepang itu, setidaknya telah memberi beasiswa 1.500-an pegawai lembaga-lembaga penelitian nondepartemen, 400 mahasiswa, dan 2.445 mahasiswa lain.
Bayangkan, 21 tahun lalu, Indonesia memiliki program terstruktur, dan dalam negeri dikembangkan infrastruktur industri strategis, sinergi antara pengembangan sains dan penerapannya di dalam negeri. "Waktu Indonesia punya science policy, seingat saya Amerika tidak punya National Science Policy, ya? Yang resmi tidak punya dia, mereka malah mengatakan, Indonesia hebat ini, punya Formal National Science Policy begitu. Dan saya enggak yakin sekarang pun, apa, misalnya, Thailand itu punya grand strategy. Itu kebanyakan keluar dari insting mereka, karena budaya keilmuan mereka itu hidup dari dulu sampai sekarang," kata Sangkot. Ilmuwan Jepang malahan dinilai agak rendah kreativitasnya. Mereka lebih banyak mengembangkan sesuatu sehingga lebih baik dari asalnya.
Feeling tentang perlunya lembaga sains dan teknologi sudah muncul di era Soekarno, ketika ia mendirikan MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), yang kelak menjadi LIPI, serta MITI (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia) yang didirikannya.
Tahun 1990-an, Bandung sebagai tempat IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio/Nusantara) berada, dianggap dunia internasional sebagai The Next Silicon Valley, padahal Bangalore kawasan pusat teknologi informasi India belum amat berpengaruh seperti sekarang. Sekarang, IPTN yang berubah menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia), nyaris tak terberitakan.
Harus diakui, pengembangan sains dan teknologi menemukan momentumnya di saat BJ Habibie menjabat Menteri Ristek di bawah Presiden Soeharto. Konsepnya "berawal dari akhir, dan berakhir dari awal", menunjukkan prioritas dan visinya pada teknologi tinggi. Ia memilih langsung pada teknologi tinggi, dengan empat tahapan alih teknologi: pertama, memproduksi pesawat terbang berdasarkan lisensi utuh dari industri pesawat terbang lain, kedua memproduksi pesawat terbang secara bersama-sama (hasilnya pesawat Tetuko CN-250), ketiga mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem konstruksi pesawat paling mutakhir menjadi sesuatu yang sama sekali baru (pesawat Gatotkoco N-250), dan keempat memproduksi pesawat terbang berdasarkan hasil riset kembali dari awal. Diproyeksikan, produknya N-2130. Program itu belum terwujud karena Indonesia dilanda krisis ekonomi.
Meski mungkin tetap mengundang polemik, tidak bisa disangkal, suasana, gairah, dan agenda pengembangan sains dan teknologi yang bersemangat, terpacu oleh strategi politik Soeharto lewat Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Di sisi lain, bagian dari usahanya memperkukuh status quo, dan meluasnya faham "pembangunan merata" ketika itu. Bagi sejumlah negara, sebutlah Malaysia, Afrika Selatan, atau negara ketiga lainnya, konsep Soeharto ternyata menjadi model. Tetap, dengan polemik dan kontroversinya.
Itulah sebabnya, diakui oleh Lukman Hakim, sains dan iptek di zaman Soeharto-Habibie, subur menumbuhkan kultur sains: anak-anak dan mahasiswa punya idola Habibie, dan mereka bergairah maju jadi ilmuwan. Sebutlah, istilah tinggal landas, lepas landas, begitu terang ketika itu. Kini, arah dan panduan bernegara seperti itu nyaris tidak terdengar pasca- reformasi. Sejak itu, yang terjadi justru besarnya tingkat konsumsi bangsa ini. Lukman mengatakan, dalam kurun 10 tahun sejak 1998, perbandingan belanja iklan masyarakat dibandingkan dengan anggaran iptek sangat njomplang, tak sebanding. Begitu kecilnya budget untuk iptek (Lihat tabel)! Rincian pada empat sektor kian menunjukkan sedang turun dan mundurnya perhatian pemerintah pada sains dan teknologi (lihat Grafis). "Tahun 1978 belanja iklan masyarakat Rp 3,76 triliun, dan tahun 2006 sudah Rp 28 triliun. Anda perhatikan, yang paling keras beriklan itu adalah produk-produk yang terancam, rokok dan air lines."
Padahal, tanpa industri kompetitif, sebuah negara tak akan maju karena di dalamnya terkandung technological capability. Lukman melihat perlunya membangun litbang-litbang kerajinan rakyat—tidak bisa hanya yang berteknologi tinggi, karena ini dekat dengan kebutuhan, dan sumber daya saing rakyat.
Masalahnya, bagaimana merancang dan mengawal agar program pemerintah sejalan dengan swasta, dan kepentingan masyarakat. Meskipun, sekali lagi, riset dan pengembangan sains tidak mesti terapan, atau populis. Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, pekan lalu, dengan tegas mengatakan, porsi pemberitaan untuk pengembangan sains dan teknologi kurang. "Kapan wartawan mau ikut saya, banyak sekali hal yang harus kami sosialisasikan," ujar Kusmayanto yang terus-terang mengakui, zamannya kini berbeda dengan zaman Habibie.
Dalam Visi Misi Iptek 2025, Kantor Menneg Ristek menetapkan Iptek sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan dan peradaban bangsa, dengan enam fokus program (2005-2009) pencapaian iptek: teknologi ketahanan pangan dan pertanian, teknologi energi (energi alternatif dan terbarukan), transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan dan obat-obatan, serta pertahanan.
Jika awalnya, bangsa ini merancang dan bergerilya sendiri mencari model pegembangan sains dan teknologi, sekarang ini ternyata kita terpaksa napak tilas, menyusur jejak masa lalu, tetapi harus menemukan momentum baru. Karenanya, yang dibutuhkan sebenarnya manajer andal, punya fokus dan komitmen, dan membela rakyat banyak.

Sumber: Kompas, Rabu, 03 Mei 2006

Di Tanah Air, Mereka Tak Mendapatkan Tempat

Oleh P BAMBANG WISUDO dan MARIA HARTININGSIH

Terbuang dari Tanah Air, Triyantono Sucipto (40) kini bisa hidup cukup mapan bersama istri dan empat anaknya di Jerman. Lulus dari SMA Negeri 1 Pemalang, Jawa Tengah, Triyantono sempat setahun belajar di Jurusan Informatika, ITB. Lantaran ingin meringankan beban orangtua, ia memilih meninggalkan ITB, mengikuti program beasiswa yang ditawarkan IPTN.
Master aerodinamika dari Universitas Teknologi Braunschweig, Jerman, itu sempat kerja di Tanah Air, di Departemen Aerodinamika Industri Pesawat Terbang Nasional alias IPTN.
Meski gajinya waktu itu relatif kecil, Rp 400.000 per bulan, ia senang pada pekerjaannya. Ia tergolong pekerja rajin. Setelah beberapa tahun bekerja, ia bisa mengangsur rumah BTN tipe 36. Ketika krisis ekonomi terjadi, subsidi distop, sejumlah pekerjaan dibatalkan, dan banyak pekerja harus diberhentikan.
Dalam situasi itu, Triyantono mencoba mencari pekerjaan lain. Ia sempat melamar ke sebuah maskapai penerbangan, melamar menjadi konsultan manajemen, atau melamar menjadi dosen. Upaya itu kandas, tak satu pun lembaga di dalam negeri yang mau menerimanya. Dalam tekanan ekonomi yang kuat, ia melamar pekerjaan di Jerman.
Ia diterima di biro teknik Ingenieur Buero Dr Kretzscmar, subkontraktor pekerjaan-pekerjaan industri aerospace, khususnya Airbus. Di lembaga itu ada 10 teknisi asal Indonesia, hampir seluruhnya jebolan IPTN.
"Kepindahan keluarga saya ke Jerman waktu itu bukan perkara mudah. Istri dan anak-anak saya sekali pun belum pernah naik pesawat terbang. Mereka harus berada di negara yang sangat asing dalam segala hal. Penguasaan bahasa Jerman mereka nol besar," tutur Triyantono. Ia bersama keluarga hijrah ke Jerman pada tahun 2001.
Triyantono merasa lebih dihargai di Jerman ketimbang di negaranya sendiri. Ruang aktualisasi keilmuan lebih luas, apresiasinya bagus. Gaji yang dibawa pulang, setelah dipotong pajak, sekitar 2.000 dollar AS per bulan, jumlah yang cukup untuk hidup satu keluarga. Jaminan sosial bagus. Sekolah dari SD sampai perguruan tinggi praktis tidak bayar. Asuransi kesehatan ditanggung sehingga tidak perlu lagi memikirkan biaya obat dan dokter. Ia juga mendapatkan peluang yang lebih besar untuk berkembang dan mengaktualisasikan dirinya.
"Sekarang, anak-anak saya sudah mapan dengan lingkungan barunya. Inilah yang menjadi kendala besar kalau saya ditanya kapan balik ke Indonesia. Selain itu, tentu saja kegamangan tentang lapangan pekerjaan, ruang aktualisasi, dan apresiasi yang mesti jadi pertimbangan," papar Triyantono.


Hadapi banyak kesulitan
Dari segi kemampuan intelektual, peneliti, ilmuwan, tenaga ahli dari Indonesia tidak kalah kualitas dibandingkan dengan orang asing. Namun, ketika kebutuhan hidup mereka tidak dijamin, keahlian mereka tidak mendapat penghargaan, dan kemampuan mereka disia-siakan, mereka akhirnya tersisihkan. Bagi mereka yang beruntung bisa mengaktualisasikan dirinya di negara lain dan lebih dihargai daripada di negaranya sendiri. Di dalam negeri, tidak kurang orang-orang pintar yang tersebar di mana-mana.
Indah Kristanti (29), dosen Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, sampai sekarang merasa kesulitan mengembangkan kemampuan keilmuannya di Tanah Air. Belum lama mengajar di IPB, Indah mendapatkan beasiswa pertukaran akademik dari lembaga DAAD Jerman pada tahun 1993. Selama sekitar 10 tahun, ia tinggal di negara itu. Ia menyelesaikan program master di Universitas Karlsruhe. Selanjutnya, ia bergabung dalam tim peneliti di Lembaga Riset Federal untuk Nutrisi dan mengikuti promosi doktor di Universitas Hikenhein di Jerman selatan.
Riset yang dilakukan Indah merupakan riset aplikatif yang masih asing di Indonesia. Ia meneliti resin penekan ion yang bertujuan untuk menetralkan kandungan nitrat pada sayur bayam. Masyarakat Jerman sangat menyukai bayam, sehingga mereka ingin memproduksi sayur bayam siap saji beku yang memenuhi ambang batas standar keamanan pangan di sana.
Ketika pulang ke Indonesia, ia merasa bidang yang ia pelajari tidak sesuai dengan ilmu yang dikembangkan dan diajarkan di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB. Prinsip-prinsip yang dipelajarinya menekan ion untuk penyerapan nitrat belum dimanfaatkan di Indonesia. Karena itu, Indah hanya membantu riset-reset yang bisa ia lakukan, seperti industri pengolahan jagung. Akan tetapi, itu bukan bidang riset yang bersifat tetap.
"Induk studi yang saya pelajari teknologi pangan, yang banyak peluang dikembangkan di Indonesia. Namun, saya harus memulai lagi," tutur Indah, yang sempat mengelola situs tentang isu pangan dan gizi.
Strategi dan arah pengembangan iptek yang tidak jelas dan tidak konsisten membuat pengembangan sumber daya manusia dalam bidang riset dan teknologi menjadi tidak efektif. Belum lagi persoalan fasilitas untuk melakukan riset, kesejahteraan peneliti, dan penghargaan masyarakat terhadap karya penelitian yang dihasilkan.
Masyarakat Korea Selatan memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap keberhasilan ilmuwan mereka menciptakan robot yang diberi nama HUBO Einstein. Dengan bangga, Presiden Korea Selatan mempertontonkan kemampuan robot berwajah Einstein yang bisa menunjukkan berbagai macam ekspresi manusia, sekalipun orang belum tahu apa kegunaan penemuan itu. Sementara di Indonesia, hasil penelitian dan penemuan baru tidak menjadi perbincangan masyarakat, apalagi penemunya disanjung-sanjung bak pahlawan.
Orang-orang pintar di Indonesia tersebar di mana-mana, baik di dalam maupun luar negeri. Tak sedikit yang disekolahkan ke luar negeri atas biaya pemerintah memilih tidak pulang, dan bekerja di luar negeri.
Fasilitas dan penghasilan yang diterima merupakan satu pertimbangan, tetapi bukan soal itu saja. Banyak di antara mereka yang merasa keahlian mereka tidak akan memperoleh tempat di Indonesia.
Oleh karena itu, selain menciptakan daya tarik yang lebih baik, untuk menarik orang- orang pintar Indonesia yang berada di luar negeri adalah dengan menciptakan "mainan" atau proyek-proyek yang membuat mereka bisa mengaktualisasikan dirinya di Tanah Air.


Ingin kembali
Yovita Sutanto (25) merasa beruntung karena lolos dalam saringan ketat untuk bekerja di laboratorium riset Monsanto, Transnational Corporation (TNC) di bidang bioteknologi pertanian. Sekarang ia bekerja di pusat laboratorium penelitian Monsanto di St Louis, AS.
Master of Science di bidang mikrobiologi lingkungan lulusan West Virginia University itu sebenarnya ingin kembali ke Indonesia. "Tapi kalau pulang, paling kerja di bank," ujar Yovita.
Yovita menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMA Marsudirini Jakarta, tahun 1998. Ia memberikan beberapa nama temannya dari jurusan ilmu-ilmu murni di AS yang terpaksa harus bekerja di bidang lain, kebanyakan bekerja di bank, sekembali dari AS, karena tidak ada lapangan kerja yang pas.
"Saya kira Pemerintah Indonesia tidak memberi perhatian cukup untuk riset. Saya dengar ada di LIPI, tetapi masih penelitian awal, belum diterapkan di industri. Saya sendiri belum pernah mencoba melamar ke LIPI. Saya masih senang bekerja di sini karena punya kebebasan bereksperimen," sambungnya.
Ia menolak memberi tahu berapa gajinya sebulan setelah dipotong pajak. Peneliti di sana bisa mendapatkan penghasilan 4.000 sampai 6.000 dollar AS per bulan setelah dipotong pajak. Itu berarti sekitar 20 kali lipat gaji yang diterima peneliti senior di Indonesia.
Dana eksperimen di laboratorium sangat besar, kata Jovita. "Anda mendengar sendiri, dana penelitian di Monsanto per tahun sekitar 590 juta dollar AS, dan penelitian untuk menghasilkan satu produk sampai mendapat sertifikasi dan boleh dilempar ke pasar membutuhkan waktu sekitar 10 tahun," lanjut Yovita, sambil menyinggung sepintas tentang beberapa penelitian yang sedang berlangsung di Monsanto.
"Hanya korporasi yang punya dana sebesar itu untuk penelitian," ungkapnya.
Steve Daugherty dari DuPont Corporation, korporasi di bidang bioteknologi yang ditemui di Chicago, AS, menjelaskan, dana riset per tahun korporasi itu jumlahnya sekitar 600 juta dollar AS atau sekitar Rp 5,4 triliun. Di Indonesia, total anggaran riset pemerintah sekitar Rp 1,3 triliun, termasuk gaji pegawai.
"Kita di Indonesia belum punya lembaga riset independen seperti Donald Danforth Plant Center," kata Yovita. Lembaga riset independen di St Louis itu memperoleh dana dari pemerintah federal, pemerintah pusat, korporasi-korporasi transnasional di bidang bioteknologi pertanian, dan pribadi-pribadi yang mempunyai perhatian di bidang penelitian.

Sumber: Kompas, Rabu, 03 Mei 2006

Dulu, PT DI Dijuluki "Everett dari Timur"

PADA satu masa Everett, satu kota tak jauh dari Seattle di negara bagian Washington, Amerika Serikat, adalah nama harum dalam dunia kedirgantaraan. Di sinilah terdapat pabrik pesawat raksasa Amerika, Boeing Co, yang dikenal sebagai pembuat pesawat jumbo 747.
Sayang, pamor Everett meredup setelah Boeing memindahkan kantor pusatnya dari Seattle ke Chicago. Jumlah karyawan yang bekerja di pabrik di Everett pun turun tajam, dari 33.500 menjadi 18.000 orang.
Keinginan negara bagian Washington untuk bangkit lagi muncul ketika Boeing mengumumkan akan membuat pesawat penumpang generasi baru yang sementara diberi kode 7E7. Hanya saja keinginan itu masih harus diperjuangkan karena sejumlah negara bagian lain, seperti California, Texas, dan Georgia, ingin pula dijadikan sebagai situs manufakturing 7E7 yang hemat bahan bakar ini.
Mengapa situs produksi diperebutkan? Karena ia akan membuka lapangan kerja baru bagi 20.000 orang dan proyek itu akan mengucurkan 1,5 miliar dollar AS ke wilayah yang terpilih.
Mengingat hal itulah, pihak yang berkampanye untuk memulihkan pamor Washington mencakup banyak lapisan masyarakat, khususnya serikat pekerja. Pimpinan mereka, misalnya, membagikan poster yang dibawa pada pawai, bertuliskan "We can do it. Land the 7E7 and build Washington".
Nasib Everett, Seattle, dan negara bagian Washington memang kurang beruntung. Selain ditinggal pindah ke Chicago, wilayah itu juga kena dampak ketika Boeing melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas ribuan karyawan dalam beberapa tahun terakhir, lebih-lebih pascaserangan 11 September 2001 dan terus menguatnya penguasaan pasar oleh Airbus, pesaing utamanya dari Eropa.
Ringkasnya, suasana umum di kawasan Everett, Seattle, dan Washington bernuansa murung. Tidak ada perasaan aman menyangkut pekerjaan karena sewaktu-waktu mereka bisa dikenai PHK. Demikian Jane Hodges dalam The Seattle Times (4/6/2003).
Situasi memang ditengarai memburuk, dengan pesanan pesawat terbang menurun tajam beberapa waktu terakhir ini. Apalagi Boeing juga sudah mengeluarkan pengumuman bahwa pihaknya akan lebih bertindak sebagai integrator, yaitu dengan mengimpor bagian-bagian yang sudah dibuat di luar negeri, dan dengan itu juga melakukan perakitan lebih sedikit.
Di satu pihak, kini memang ada globalisasi dan outsourcing dalam produksi pesawat. Di pihak lain, upaya efisiensi tersebut harus mengorbankan kepentingan lapangan kerja penduduk lokal yang di masa lalu amat dimanjakan oleh pabrik raksasa ini.
ZAMAN memang telah berubah. Boeing dulu makmur, kini susah. Pesanan melorot, saingan menghebat.
Rupanya, apa yang terjadi di "Everett di Barat" itu juga dialami oleh "Everett di Timur". Julukan "Everett of the East" ini dulu sempat dilekatkan pada PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Bandung semasa era kejayaannya pada dekade 1980-an.
Kejayaan itu sendiri dimulai ketika tahun 1974 Bacharuddin Jusuf Habibie kembali ke Indonesia setelah sejak tahun 1950-an studi di Jerman. Doktor dalam bidang konstruksi pesawat terbang inilah-yang waktu itu berusia 37 tahun-yang ditugasi oleh Presiden Soeharto untuk merintis pendirian industri pesawat terbang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1976.
Berbekal apa yang ia yakini sebagai visi kedirgantaraan bagi Indonesia-yang lalu sering ia sebut sebagai arkipelago paling besar di dunia-Habibie bisa mewujudkan cita-citanya dengan mendapat modal awal dari Divisi Teknologi Tinggi dan Teknologi Penerbangan Pertamina.
Waktu itu ia hanya mewarisi aset sederhana yang ditinggalkan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) Bandung. Setelah dia banyak ditolak tatkala minta izin lisensi, akhirnya Habibie bisa mendapat kepercayaan dari Construciones Aeronauticas Space Administration (CASA) Spanyol untuk merakit pesawat angkut ringan C-212 Aviocar. Masa perakitan ini-yang dalam kerangka teoretisnya sering ia sebut Tahap Pertama Transformasi Teknologi/Industri bercorak Progressive Manufacturing -dilengkapi perakitan helikopter Jerman Bo-105.
Tiga tahun setelah berdiri, PT Nurtanio juga menang kontrak untuk memproduksi helikopter Perancis, Puma SA-330, dan Super Puma SA-332. Tahun 1979 itu pula perusahaan ini bersama mitra Spanyol-nya mendirikan perusahaan patungan Airtech Industries untuk membuat dan memasarkan produk bersama CN-235.
Pamor industri penerbangan yang pada tahun 1984 berganti nama dari PT Nurtanio menjadi PT IPTN ini makin terang, menyusul diperluasnya kontrak lisensi dengan Bell Helicopter Textron Inc dan MBB, terutama setelah kontrak pembelian jet F-16 oleh Indonesia. Jet yang waktu itu masih dibuat oleh General Dynamics itu memberi IPTN imbal produksi (offset) sebesar 35 persen dari harga pesawat yang 168 juta dollar AS.
Kepercayaan itu membuat pimpinan IPTN berani membesarkan jumlah karyawan, dari 500 orang pada saat berdirinya menjadi 15.000 orang (1987), dan sekitar 16.000 orang pada tahun 1990-an. Saat itu pula sempat diproyeksikan jumlah karyawan IPTN akan menjadi 60.000 orang dalam 20 tahun berikut.
SESUNGGUHNYA, menyusuri riwayat PT Nurtanio/IPTN, orang tidak semuanya menemukan riwayat muram. Bisa dipercaya dan bisa merakit pesawat dan helikopter saja mungkin sudah satu prestasi bagi bangsa yang satu saat di masa lalu sempat dijuluki "bangsa kuli" ini. Tetapi, dari bangsa ini pula lalu bisa muncul produk seperti CN-235 yang rekayasa tekniknya banyak dilakukan oleh insinyur muda Indonesia. CN-235 kemudian cukup banyak dibuat baik dalam versi sipil maupun militer, yang bisa dipersaingkan dengan pesawat ATR-42, Dash7/8, atau Fokker 27.
Puncak penguasaan teknologi sendiri dicapai dengan pembuatan N-250 yang menggunakan teknologi fly-by-wire.
Untuk pencapaian ini, berbagai pameran kedirgantaraan-mulai dari Asian Aerospace di Singapura, Farnborough International di Inggris, dan Salon Le Bourget-Paris di Perancis- bisa menjadi saksi atas tampilnya karya Indonesia ini di panggung kedirgantaraan terkemuka dunia tersebut.
Hanya saja, pencapaian teknologi tersebut tidak serta-merta berujung pada pembelian. Inilah yang lalu melahirkan ungkapan sinis bahwa Tetuko (nama prototipe CN-235 pemberian Soeharto) itu-dalam bahasa Jawa-adalah "Sing teko ra tuku-tuku, sing tuku ra teko-teko" (Yang datang tidak kunjung beli, yang beli tak kunjung datang).
Sementara itu, kondisi yang menghadang tidak main-main. Situasi yang dihadapi IPTN waktu itu, dan kemudian PT Dirgantara Indonesia (DI), adalah bayangan pendapatan terus menjadi fantasi dan elusif (sulit dipegang), sementara cost itu keniscayaan.
Lalu modal sebesar Rp 1,6 triliun yang diberikan pada tahun 1986 berangsur-angsur susut. Operasionalnya sendiri dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), dan untuk menyelamatkan perusahaan dulu sempat disebut-sebut penggunaan dana reboisasi sebesar Rp 400 miliar (Lihat misalnya The Jakarta Post, 14/7).
Situasi seperti itu jelas kontras dengan pencapaian teknologi yang, kalau sejarah tidak menghentikannya, masih akan berbuntut dengan program jet N-2130-pesawat penumpang bermesin jet dua untuk 130 penumpang. Perusahaan bagi program ini sempat didirikan dan masyarakat diundang untuk membeli sahamnya.
Pada pihak lain juga perlu dipahami bahwa industri kedirgantaraan bersifat amat kompetitif, sangat menuntut teknologi tinggi, dan kapital yang sangat besar-selain tentu saja manusia-manusia yang unggul dan menguasai teknologi.
AS yang dikenal sebagai penguasa berbagai teknologi, dan satu demi satu telah direbut oleh bangsa lain-seperti otomotif oleh Jepang, dan kini aeronautika oleh Eropa-tidak pernah suka ada bangsa lain yang terus mengusiknya di bidang-bidang keunggulan itu. Kedirgantaraan dan informatika mungkin masih tetap bisa dikatakan sebagai wujud the last frontier bagi Amerika yang harus dipertahankan mati-matian.
Akan tetapi, di negara adidaya ini pun restrukturisasi industri terjadi. General Dynamics sekarang telah ditelan oleh Lockheed Martin, sementara McDonnell Douglas telah ditelan Boeing. Melihat konsolidasi seperti itu, Eropa juga tak mau kalah. Juli 2000 lahir EADS (European Aeronautic Defence and Space Company) yang merupakan penggabungan Daimler-Chrysler AG Jerman, Aerospatiale Matra Perancis, dan CASA Spanyol.
DI tengah kompetisi yang seperti itulah PT DI meredup. Kemarin mesin numerik komputernya yang canggih, yang dulu banyak dipakai untuk membuat bagian-bagian pesawat yang rumit, mungkin telah dipakai untuk membuat panci dan antena parabola. Pesanan masih datang satu-satu, seperti dari Korea. Tetapi, tidak jarang penalti datang karena jadwal meleset. Modal untuk pembelian bahan pun semakin seret karena kredit tidak mudah mengucur untuk perusahaan di negara yang dilanda keruwetan seperti Indonesia. Sementara penjualan juga tidak mudah, mengingat umumnya calon pembeli meminta kredit pembelian yang disiapkan oleh penjual.
Sementara itu, tidak lama lagi pesawat generasi baru, yang kecil maupun yang superbesar seperti Airbus A-380, muncul dalam kurun dua-tiga tahun lagi.
Indonesia sebagai produsen pesawat terbang mungkin segera tenggelam bila PT DI tidak mendapat solusi jitu. Kalau ini yang terjadi, betapa pun itu merupakan konsekuensi dari inefisiensi dan ketidakberuntungan, akan dicatat sebagai hal tragis.
Tragis, karena PT DI sebenarnya sudah memiliki banyak kemampuan. Selain itu, tanpa industri kedirgantaraan, Indonesia akan kembali ke era pra-1976, ketika pesawat berbagai jenis, dari berbagai pabrik, dari berbagai negara, menerbangi udara Indonesia.
Inilah masa yang menentukan, inilah predicament, tidak saja bagi PT DI, tetapi juga bagi pemikiran idiil bangsa Indonesia. Inilah saat untuk menjawab pertanyaan, "Benarkah membuat pesawat terbang itu ahistoris bagi bangsa Indonesia?" sehingga ia tak punya peluang untuk hidup di sini.

Sumber: Kompas, Rabu, 15 Juli 2003

Mutiara-mutiara dalam Lumpur

Oleh: Indira Permanasari dan P Bambang Wisudo

Sebuah model pesawat CN 235 berwarna hitam tergantung pada timbangan di langit-langit sebuah ruangan berdinding kaca. Ruangan tersebut bersambungan dengan lorong angin raksasa yang gelap gulita.
Para peneliti di Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Aero-Gasdinamika dan Getaran atau LAGG yang berlokasi di Puspitek Serpong sedang menguji pesawat itu. Satu negara di Eropa rupanya menginginkan laboratorium tersebut menguji sistem pertahanan torpedo pada pesawat dengan menggunakan model itu.
"Kami masih berusaha bertahan dan terus mendapatkan berbagai pekerjaan, termasuk pengujian model pesawat," ujar Surjatin Wiriadidjaya, Kepala LAGG, yang juga adalah Asisten Deputi Urusan Puspitek di Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Sebagian gambaran kolapsnya pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Tanah Air seakan tergambar dalam unit pelaksana teknis yang pada era Soeharto dan Habibie sempat menjadi pusat riset unggulan. Laboratorium itu meredup, terbenam dalam segala kekacauan krisis moneter.
Setelah krisis moneter, untuk penelitian otomatis tidak ada dana. "Anggaran sudah pas-pasan untuk pengeluaran rutin. Sekarang kita sebatas riset menguji, seperti pesawat terbang dalam bentuk model. Juga mengembangkan pesawat terbang murah dalam bentuk prototipe," ujar Surjatin lagi.
Di mulai tahun 1979 dan beroperasi tahun 1988, laboratorium itu semula bertujuan menunjang industri dirgantara dan maritim di Indonesia. Tugas lainnya ialah pengujian, pengkajian, dan penerapan teknologi aerodinamika dan getaran untuk menunjang tugas pokok Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi (BPPT).
Di sana terdapat low speed wind tunnel atau lorong angin guna pengujian model yang, menurut Surjatin, terbesar di Asia Tenggara. Alat dilengkapi berbagai pengukuran dan simulasi yang akurat.
Sebelumnya, unit pelaksana teknis ini berhasil menunjang kegiatan industri pesawat terbang nasional, antara lain, dalam program-program pengembangan produk pesawat CN 235, desain awal pesawat N250 dan N2130, serta kerja sama dengan Boeing dan Fokker.
Sesuai kondisi, pada tahun 2002 dilakukan penyesuaian misi dan visi yang ujungnya menjadikan unit pelaksana teknis itu sebagai lembaga profesional bertaraf internasional. Pada akhirnya, lembaga itu mengutamakan sebagai penyedia jasa, terutama dalam pengujian produk teknologi dalam bidang aerodinamika, gasdinamika, dan getaran.
Mereka juga melakukan diversifikasi sarana aerodinamika ke bidang konstruksi, otomotif, dan lingkungan. Salah satu proyek aktual yang dikerjakan ialah pengukuran Jembatan Surabaya-Madura. Keahlian laboratorium itu memang sudah bergeser ke bidang non-aeronatik seusai kebutuhan industri dan arah kebijakan pemerintah ke depan.

Bersinar
Namun, dalam kondisi serba terbatas, terlebih lagi setelah empasan krisis multidimensional, terdapat riset-riset unggulan yang dengan segala dayanya dan dalam kesepian bergeliat.
Laboratorium pimpinan Adi Santoso yang menjadi bagian dari Pusat Penelitian Bioteknologi di LIPI-Cibinong tak seberapa luas. Ruangan didominasi meja melingkar dengan rak kaca di tengahnya. Tabung-tabung, cawan, alat ukur tersebar di seluruh penjuru meja. Botol-botol berisi bahan kimia tersimpan rapi di rak. Dua kulkas untuk menyimpan bahan kimia dan contoh gen ikut berdesakan.
Ruangan kecil itu dulunya adalah tempat menaruh karung- karung biji-bijian, lengkap dengan tikus-tikus penghuninya. Tempat itu lalu disulap oleh Adi menjadi tempat bekerja yang nyaman, tak lama sepulang dari Amerika Serikat, dua tahun lalu.
Kini, ruangan itu menjadi tempat inkubasi terobosan dalam ilmu biologi molekuler, tak kalah dari para peneliti Barat. Adi dan timnya meneliti tentang human Erythropoeitin (EPO) dengan menggunakan media pembiakan melalui tanaman barley dan ragi (yeast).
Pematangan sel darah membutuhkan EPO dengan proses bertumbuh dan membelah. Tetapi, pada orang gagal ginjal, HIV/AIDS atau kanker, proses pematangan sel darah merah ini terhambat karena kekurangan EPO yang secara alami diproduksi oleh ginjal manusia.
"Dengan teknik western blot, kami sudah berhasil membuktikan ada EPO dalam barley yang dijadikan media pembiakan, tapi belum mengekstraksinya," kata pria yang meraih gelar master dan doktor di AS itu.
Riset yang dilakukan di laboratorium itu merupakan bagian dari pertandingan dunia dalam penciptaan obat-obatan berbasis bioteknologi. Tahun 1999, perputaran uang dalam bidang itu mencapai 18 miliar dollar AS di dunia. Penelitian mengenai hormon mendominasi sekitar 51 persen, dan di dalamnya human EPO mencapai 21 persen. Ini mengalahkan insulin yang sebelumnya primadona penelitian.
Adi ingin laboratorium itu nantinya dapat menyusul keberhasilan Laboratorium Biomolekuler Kedokteran Eijkman.
Lembaga Eijkman yang dibangun tahun 1992 memang berhasil menjadi pelopor penelitian biomolekuler di Tanah Air. Di bawah kepemimpinan (saat ini) Sangkot Marzuki, Eijkman melakukan berbagai penelitian, termasuk salah satu yang ambisius ialah pemeriksaan genetika dikaitkan dengan antropologi.
Pelacakan genetika sangat bermanfaat sebagai referensi pengambilan kebijakan kesehatan di dunia kedokteran. Ilmuwan yang berada di bawah atap Eijkman dididik dan ditumbuhkan budaya penelitian, termasuk penelitian dasar dan pengembangan ilmu bioteknologi.
"Bioteknologi sedang mengalami revolusi. Bagaimana kita dapat membangun bioteknologi kalau tidak menguasai ilmunya. Untuk bioteknologi kompetitif, kita memerlukan dasar keilmuannya," ujar Sangkot.
Ratusan kilometer dari Jakarta, Gede Bayu Suparta dan kelompoknya di grup riset Fisika Citra yang berbasis di Universitas Gadjah Mada (UGM) bahkan terus berkarya secara mandiri. Mereka mengembangkan fisika citra, seperti tomografi komputer, radiografi digital, dan pembangkit listrik aki yang sudah mendapatkan paten.
Kelompok itu berkarya tanpa menggantungkan diri dengan birokrasi. "Sasaran kami ialah membuat sesuatu untuk masyarakat," kata Gede Bayu.
Pendanaan atau perekrutan bersifat dinamis. Gede Bayu Suparta menyatakan, dengan segala strategi, permasalahan dana masih dapat diperjuangkan.
Pendanaan awal merupakan investasi pribadi. Saat dana minim sehingga mengembangkan ide sulit, biasanya kelompok Fisika Citra di UGM itu membuat prototipe dan kemudian mengajukan proposal untuk dana pengembangannya. Jika berhasil, maka berlanjut dengan paten. Dengan segala kondisi itu, mau tidak mau unsur wirausaha terpaksa diselipkan dalam menjalankan penelitian.
Gede Bayu mengajak orang- orang yang berminat dan bersedia meneliti tanpa digaji terlebih dahulu. Mereka meneliti, membuat prototipe, membuat proposal. "Setelah menghasilkan sesuatu, baru hasilnya dibagi rata, dan itu pun untuk dana riset lebih lanjut," ujarnya.
Untuk sumber daya manusia, dia juga memutuskan tidak kaku. Gede Bayu membuat tim- tim kecil dan tidak harus dari dalam institusi perguruan tinggi. Anggotanya terdiri atas tiga dosen dan peneliti, serta tujuh orang di bidang teknis. Yang dipentingkan ialah kemampuan kerja dalam kelompok, dan selebihnya seleksi alam.

Bergulat dalam keterbatasan
Pusat-pusat riset unggulan tersebut bergulat dan berkarya di tengah segala keterbatasan. Adi Santoso, misalnya, sekembalinya dari AS mengaku sempat merasa frustrasi dengan suasana penelitian yang kurang kondusif.
"Sampai kemudian atasan saya memberikan semangat dan meminta saya menulis proposal untuk mendapatkan uang dan bisa penelitian," ujarnya. Risetnya saat ini merupakan salah satu riset unggulan LIPI.
Dengan dana yang diberikan, kebutuhan penelitian biologi molekuler di laboratoriumnya masih dapat terpenuhi. Paling berat justru permasalahan pembelian bahan kimia. Harga bahan kimia di Indonesia tiga kali lipat daripada harga di luar negeri, seperti AS tempat dia belajar dan sempat bekerja.
"Ambil contoh enzim Ecor1 5000 unit yang harganya 45,10 dollar AS. Di Indonesia, kalau beli harganya bisa dua kali lipat. Pemesanannya juga membutuhkan waktu dua bulan, padahal di Amerika paling lama 24 jam pesanan sudah datang. Malam saya telepon, pagi sudah datang. Di sini, bahan-bahan kimia itu diimpor dari luar. Dengan semua peraturan, pesanan kita paling cepat satu bulan baru datang. Lamanya pemesanan itu tentu memengaruhi kenyamanan penelitian juga," ujarnya.
Bahan bacaan sulit pula dicari. Terlebih lagi, dana proyek umumnya tidak termasuk biaya membeli buku. Sebagian besar dana tersedot untuk pembelian bahan kimia.
Permasalahan lainnya ialah arah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara nasional. Terkait pengembangan keilmuan dan teknologi untuk mengembangkan bioteknologi, misalnya, harus diputuskan jenis bioteknologi yang diinginkan sebagai program unggulan nasional. "Apakah terbatas untuk memecahkan permasalahan kesehatan dan pangan?" ujar Sangkot Marzuki.
Di laboratoriumnya yang sepi, Surjatin tidak mengeluhkan dana dan fasilitas. Hanya saja, ia menyayangkan berkurangnya generasi muda di bidang tersebut. Mereka selalu dituntut untuk meneliti dan menelurkan hasil. Tidak boleh membuat kesalahan atau bereksperimen karena dana minim.
Padahal, sebagai peneliti muda, mereka harus bereksperimen sebanyak mungkin dan belajar dari percobaan-percobaan itu. Akibatnya, peneliti muda kurang mendapat tantangan. Tak heran jika kemudian banyak dari mereka yang tidak berminat, kehilangan gairah meneliti, atau memilih berkarya di luar negeri.
Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut dia, tak lepas dari struktur industri. "Jika industri dalam negeri dinamis, pasti mereka mencari kita. Dalam hal ini industri besar, berkonsep maju, menghargai karya anak bangsa, serta bukan bagian dari perusahaan multinasional. Mereka itu yang membutuhkan kita," ujarnya, seraya berharap agar pengalaman pahit itu tidak terulang lagi.

Sumber: Kompas, Rabu, 03 Mei 2006

Wednesday, August 27, 2008

Pesawat C-130 Hercules Milik AU Filipina Jatuh

Davao, Selasa - Sebuah pesawat transpor Angkatan Udara Filipina jatuh beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Davao City, Filipina selatan, Senin (25/8) malam. Dua pilot serta tujuh awak pesawat angkut militer C-130 Hercules yang terlibat dalam operasi militer di selatan itu dilaporkan tewas.
Kepala Staf AU Filipina Letjen Pedrito Cadungog, kepada wartawan, Selasa, menegaskan, pesawat C-130 Hercules itu jatuh saat lepas landas di Bandara Davao, Senin malam. Kontak radio hilang beberapa menit setelah lepas landas.
Cadungog menolak berspekulasi mengenai penyebab jatuhnya pesawat itu. Dia mengatakan, sabotase ”selalu merupakan kemungkinan”, terutama berkaitan dengan aksi serangan udara dan darat secara besar-besaran terhadap aksi pemberontakan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina selatan.
Cadungog mengatakan, gerilyawan MILF diperkirakan tidak memiliki senjata yang mampu menjatuhkan pesawat yang terbang pada ketinggian di atas beberapa ribu kaki. Pesawat angkut C-130 itu berada pada ketinggian sekitar 5.000 kaki atau 1.524 meter. Saat itu, pilot pesawat sedang meminta izin jalur penerbangan.
Sejumlah saksi mengaku mendengar suara ledakan yang cukup keras tidak lama setelah pesawat itu lepas landas. Kedua pilot di balik kemudi C-130 itu sangat berpengalaman. Cadungog mengakui, musibah pesawat angkut militer ini ”cukup membingungkan”.
Pesawat kargo militer itu lepas landas hari Senin pukul 20.50 dan kehilangan kontak lima menit kemudian. Cuaca saat itu dilaporkan cukup cerah.
”Kami telah menemukan satu jenazah dari awak pesawat yang jatuh itu,” kata Cadungog. Regu penolong dan nelayan setempat juga menemukan banyak puing pesawat.
”Nelayan dan warga di desa pesisir di Davao City menyerahkan beberapa bagian dari pesawat itu, termasuk sebuah roda. Juga diserahkan sebuah buku panduan penerbangan C-130 dan dokumen lainnya,” katanya.
Barang-barang pribadi, seperti sepatu bot, tanda pengenal, potongan baju, dompet, dan dokumen AU, ditemukan di desa- desa pesisir dekat lokasi jatuhnya pesawat.
Kapten Arnel Gonzales, ketua tim pencarian, mengatakan, peralatan sonar menunjukkan kemungkinan reruntuhan badan pesawat berada di kedalaman 181 meter, sekitar 2,5 mil laut di lepas pantai Davao City.
Minta bantuan AS
Cadungog mengatakan, AU Filipina telah meminta bantuan militer Amerika Serikat dalam upaya pencarian pesawat C-130 itu. Sebuah pesawat AS diperkirakan akan bergabung dengan delapan pesawat dan helikopter Filipina.
Upaya pencarian berpusat di kawasan beradius 30 kilometer dari sekitar Bandara Davao City. Cadungog mengatakan, pesawat C-130 itu berada di Davao untuk mengisi bahan bakar, dalam perjalanan ke kota Iloilo di Filipina tengah untuk menjemput lebih dari 80 personel Pasukan Keamanan Kepresidenan.
Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, Senin, berada di Iloilo untuk menghadiri upacara mengenang seorang kolonel Angkatan Darat Filipina yang terbunuh.
Pesawat naas itu sebelumnya membawa pasukan dari Fort Magsaysay, sebuah pangkalan militer di Provinsi Nueva Ecija di utara Davao City, Mindanao.
Kawasan tengah dan barat Mindanao menjadi ajang pertempuran antara militer Filipina dan MILF. Militer mengejar tiga komandan MILF yang bertanggung jawab atas pembunuhan sejumlah warga sipil di tiga provinsi di kawasan itu pekan lalu.

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008.

Monday, August 25, 2008

Boeing 737-200 Kirgistan Jatuh Saat Lepas Landas

Regu penolong mencari korban musibah Boeing 737 milik Itek Air yang jatuh dekat Bishkek, Kirgistan, Minggu (24/8) malam. Sebanyak 68 penumpang tewas dan 22 penumpang selamat.

Tekanan kabin yang menurun drastis menyebabkan pesawat Boeing 737-200 milik Itek Air jatuh sesaat setelah lepas landas dari Bandara Manas, Bishkek, Kirgistan, Minggu (24/8) malam. Pesawat dengan 90 penumpang dan awak ini hendak terbang ke Teheran, Iran. Sebanyak 68 penumpang dilaporkan tewas.
”Boeing 737 dengan 90 penumpang dan awaknya jatuh be- berapa kilometer dari Bandara Manas, Bishkek, setelah pesawat secara drastis kehilangan tekanan dalam kabin,” ujar Perdana Menteri Kirgistan Igor Chudinov. Tak dijelaskan apa penyebab hilangnya tekanan pada kabin pesawat.
Pilot pesawat mencoba mendarat secara darurat di sebuah ladang tidak jauh dari landasan pacu. Pesawat terbakar dan hancur. Pihak penerbangan sipil menuturkan, pesawat jatuh di dekat Desa Dzhany-Dzher, pukul 20.40 malam atau 21.40 WIB, selang 10 menit setelah lepas landas.
Wartawan Kirgistan di lokasi menyebutkan, para korban tewas berserakan. Penumpang yang masih hidup berteriak kesakitan, terutama karena luka bakar.
Pesawat naas ini milik Itek Air, perusahaan swasta Kirgistan. Itek Air masuk daftar hitam larangan terbang ke wilayah udara Uni Eropa. Menurut Chudinov, tujuh awak pesawat itu selamat.
”Mengutip informasi terakhir, 68 orang tewas dari total 83 penumpang,” ujar Rosa Daudova, juru bicara PM Chudinov. Dia menjelaskan, dalam pesawat terdapat 52 warga Iran, 24 Kirgistan, 3 Kazakstan, 2 Kanada, serta masing-masing 1 Turki dan China.
Sebelumnya, Yelena Bayalinova, juru bicara Kementerian Kesehatan Kirgistan, menjelaskan kepada AFP bahwa 65 penumpang tewas, 22 cedera, dan 3 lainnya hilang. Pesawat hendak terbang ke Teheran, Iran. Sebelumnya disebutkan pesawat terbang ke Moskwa, Rusia.
Ini merupakan musibah kecelakaan pesawat yang terburuk di Kirgistan, negara di Asia Tengah yang sebelumnya bagian dari Uni Soviet. Boeing 737-200 buatan tahun 1979 ini dalam kondisi baik. Pesawat ini milik perusahaan Iran Aseman dan disewakan kepada Itek Air. Namun, Reza Jafarzadeh dari Penerbangan Sipil Iran membantah hal itu.
Musibah di Kirgistan ini kurang dari sepekan dengan jatuhnya pesawat MD-82 Spanair di Madrid, Spanyol, 21 Agustus. Pesawat dengan 172 penumpang ini hendak terbang ke Kepulauan Canary, Samudra Atlantik, tetapi jatuh saat lepas landas. Sebanyak 154 orang tewas.

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Agustus 2008