Tuesday, September 9, 2008

N250 Pilih Rugi atau Impas?

Di tengah pergulatan ter-hadap berbagai krisis yang belum juga tuntas, PT IAe (dahulu IPTN) dihadapkan pada masalah N250. Batas waktu pemasarannya kian sempit, sementara investor baru tak kunjung datang. Sayang jika proyek yang telah menelan 200 juta dollar ini lepas begitu saja.

Proyek N250 telah menelan 90 persen dari dana pengembangannya./Foto: Angkasa/DN Yusuf


Segeralah selesaikan barang, sebelum sainganmu menguasai pasar dengan barang yang sama. Nampaknya hukum alam dunia industri ini lambat-laun tengah melahap PT Indonesian Aerospace (dahulu IPTN) dalam kaitan komuter 70 kursi mereka, N250. Pasalnya, sementara pesawat sipil berkemudi fly-by-wire ini masih terus-menerus didera kesulitan dana untuk menyelesaikannya, banyak saingannya yang dahulu masih sama-sama berupa konsep ­ seperti ATR-72 ­ kini sudah operasional. Walau tak pernah ada pernyataan bahwa pesawat-pesawat ini telah mengambil pasar yang akan ditembus N250, waktu yang terus bergulir bagaimanapun telah membuat IPTN kebat-kebit.

Bagaimana tidak? Paling tidak hal ini terbersit dalam pernyataan Dirut PT IAe Ir Paramajuda kepada Angkasa, awal September lalu di Jakarta. Secara khusus Ia mengakui bahwa time to market pesawat ini sudah kian menyempit. Maklum program IPTN yang diperkenalkan pertama kali pada 1987 ini semestinya sudah masuk pasar tiga tahun lalu. Namun, apa mau dikata, hingga kini pun tanda-tanda penyelesiannya belum juga nampak, sementara time-to-market-nya tinggal dua-tiga tahun lagi.

Prahara akibat dihentikannya dana yang disalurkan dari pinjaman IMF (Dana Moneter Internasional) ini dilain pihak juga telah membuat PT IAe gregetan, karena toh pesawat ini secara fisik sebenarnya sudah selesai. Yang belum genap adalah pembukuan jam uji terbangnya yang akan dipakai untuk persyaratan sertifikasi. Sebagaimana diketahui, tak satupun negara yang mau membelinya jika sebuah pesawat belum bersertifikasi laik udara.

Hitung punya hitung, seperti diungkap mantan direktur pemasaran IPTN semasa BJ Habibie itu, "Kini market-nya sudah berkurang jadi sekitar 30 persen. Dari yang semula pasar kelas 70 kursi ini sanggup menyerap 2.000 unit, kini tinggal 600 pesawat. Namun demikian peluang untuk keluar dari krisis sebenarnya masih ada, karena untuk balik modal N250 hanya perlu laku 300 unit saja."

Itu sebabnya, ditengah kecemasannya, PT IAe masih bersemangat menyelesaikan pesawat dua mesin yang pada awalnya akan dihargai 13,5 juta dollar AS tersebut. Sejauh ini, pesawat yang semula diproyeksikan menjadi tulang-punggung IPTN selepas tahun 2000 ini telah menyerap 90 persen dari dana pengembangan. Ini artinya, sudah sekitar 200 juta dollar AS dikeluarkan untuk menutup biaya rekayasa dan pengujiannya. Itu pun sudah diirit-irit mengingat dari yang semula direncanakan akan membuat empat prototip, belakangan IPTN telah menguranginya menjadi dua unit saja. Seperti pernah dikatakan seorang pimpinan IPTN, pihaknya kini bahkan hanya memiliki dana terbatas untuk proyek ini, dan dana ini hanya cukup untuk biaya perawatannya.

Lalu dari mana kekurangan itu akan ditutup? "Daripada rugi besar, tiada lain kini kami sedang berusaha keras mendekati sejumlah pihak yang kira-kira mau diajak menutup kekurangan biaya tersebut. Cukup banyak yang tertarik, ada dari AS, Cina, lalu Eropa. Ada juga dari pihak swasta, yakni sekumpulan orang dari luar negeri yang hanya menaruh minat naruh uang saja," tutur Paramajuda seraya menegaskan bahwa sampai sejauh ini memang belum ada satu pun yang memastikan ikut serta.

Makna ganti nama

N250 sendiri hanya satu dari sekian 'pekerjaan rumah' yang dikejar waktu. Bagi IAe, yang jelas, pekerjaan rumah terbesar yang kini tengah digarapnya adalah, upaya restrukturisasi modal, reorientasi modal, reorientasi SDM, dan reorientasi bisnis. Seperti diungkap Pelaksana Harian Dirut PT IPTN Jusman SD, Februari lalu kepada Angkasa, sukses tidaknya dalam menuntaskan pekerjaan besar yang hanya diberi tenggang waktu hingga 2001 itu akan menentukan survive tidaknya industri pesawat nasional ini dalam melangkah ke depan. (Lebih jauh baca Angkasa, Maret 2000)

Di tengah segala problema politik dan ekonominya, pemerintah sendiri tak melepas salah satu industri strategisnya ini begitu saja. Pihak IPTN mencatat, perhatian besar pertama yang diberikan Kabinet Abdurrahman Wahid (uniknya) adalah berupa usul pergantian nama. Sebagaimana diberitakan, ketika menghadiri acara hari jadinya yang ke-24, 24 Agustus lalu di Bandung, secara resmi Gus Dur mengganti nama IPTN menjadi PT IAe atau dalam versi Indonesia-nya, PT Dirgantara Indonesia. Perhatian ini tergolong segnifikan terutama mengingat dalam acara yang sama ikut hadir pula Menko bidang Perekonomian Rizal Ramli, Memperindag Luhut B. Panjaitan, dan Menristek AS Hikam.

Bagi IAe, pergantian nama tersebut paling tidak telah memberikan dua arti. Pertama, adalah sebagai kesempatan untuk memanivestasikan totalitas mereka terhadap perubahan (organisasi dan paradigma) yang kini tengah dijalankan. Dan, kedua, sebagai kesempatan mereka untuk menunjukkan semangat baru kepada para mitra kerjanya di luar negeri. Yang terakhir ini, terhitung penting, karena menurut Paramajuda, selama ini mereka kerap bingung jika mendapat tamu dari industri yang namanya menggunakan kata-kata Indonesia (PT Industri Pesawat Terbang Nusantara, Red). Untuk itu, perlu berkali-kali dijelaskan bahwa IPTN adalah aerospace industry in Indonesia.

Apapun itu, kini pabrik yang telah berkali-kali dilanda rasionalisasi SDM ­ dari yang semula 16.000 menjadi 10.000 ­ ini, memang tengah berupaya keras untuk bangun dari keterpurukannya. Belakangan, upaya diversifikasi usaha yang mereka lakukan kabarnya malah telah meraih sukses yang lumayan. Unit Bisnis Strategis Non-Pesawat-nya, diantaranya saja, telah berhasil mencetak Rp 1,2 milyar, 4,5 juta DM, dan 6 juta dollar AS, masing-masing untuk kontrak pembuatan empat helikopter, antena parabola untuk siaran HBO, dan peremajaan tank TNI AD Scorpion. Sementara dari Unit Bisnis Strategis Pesawat-nya sendiri, IAe masih berkonsentrasi menyelesaikan pesanan CN-235 untuk Korea Selatan dan Brunei, serta menjajaki ketertarikan Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab dan Dephankam RI terhadap CN-235MPA.

Dari unit CN-235 yang kini menjadi tulang-punggung, IAe juga mendapat kontrak pembuatan shipset dari CASA Spanyol, yang mana dalam rangka HUT-nya yang ke-24, mereka berhasil mengirim dua unit senilai 1,145 juta dollar. Berkaitan dengan terobosan bisnisnya tersebut, Presiden mengatakan, cukup positif karena keunggulan teknologinya dipandang bisa dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan pasar.

Sumber: ANGKASA N0.1 OKTOBER 2000 TAHUN XI

No comments: