Tuesday, September 9, 2008

Pengadilan Niaga Kabulkan Tuntutan Eks Karyawan

Salah satu simbol teknologi Indonesia kemarin rontok. Penerbangan panjang PT DI (Dirgantara Indonesia) yang dirintis B.J. Habibie sejak 31 tahun lalu terhenti di pengadilan niaga. Majelis hakim memvonis pailit atau bangkrut.

Putusan hakim itu mengabulkan gugatan pailit yang diajukan eks karyawan PT DI. "Menyatakan termohon (PT DI) pailit dengan segala akibat hukumnya," ujar Ketua Majelis Hakim Andriani Nurdin membacakan putusan.

Majelis hakim menerima permohonan pemohon seluruhnya. Tak hanya menyatakan pailit, majelis hakim lantas menunjuk Taufik Nugraha sebagai kurator untuk menghitung nilai aset PT DI. Hakim PN Jakarta Pusat Zulfahmi ditunjuk sebagai hakim pengawas. Sebagai pihak yang kalah, PT DI juga diharuskan membayar biaya perkara Rp 5 juta.

Putusan tersebut disambut pekikan takbir dan tangis bahagia ratusan eks karyawan PT DI, baik di ruang sidang maupun yang beraksi di luar gedung pengadilan. Pakaian mereka didominasi warna oranye -atribut pemohon. Teriakan spontan yang dilakukan sambil mengangkat tangan itu membuat ketua majelis hakim menghentikan sejenak pembacaan putusannya.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai para eks karyawan PT DI memiliki kapasitas untuk mengajukan gugatan pailit. Dalih termohon bahwa hanya menteri keuangan yang berhak mengajukan gugatan pailit atas PT DI yang berstatus BUMN sesuai penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) ditolak majelis.

"Majelis hakim sependapat dengan pemohon bahwa PT DI bukan BUMN yang bekerja untuk kepentingan publik sesuai penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan (namun tunduk pada hukum Persero/PT, Red). Maka, pemohon punya kapasitas mengajukan permohonan pailit PT DI," ujar anggota majelis Heru Pranomo.

PT DI juga memenuhi persyaratan untuk pailit. Perusahaan tersebut punya utang pada lebih dari dua kreditor dan tidak membayar lunas utang yang telah jatuh tempo. Perusahaan yang berlokasi di Bandung itu diketahui berutang kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp 1,7 triliun.

Utang itu tak bisa dibayar hingga berujung pada terbitnya debt to equity swapt alias diputihkan. Bukan hanya itu. PT DI pada 1996 berutang kembali pada dana reboisasi Rp 400 miliar, disusul utang ke menteri keuangan Rp 1,03 triliun, dan kepada BPPN sebagai dana talangan Rp 650 miliar.

PT DI juga utang kepada karyawan. Menurut Heru, hal itu dibuktikan adanya putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) 29 Januari 2004 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan tersebut mewajibkan PT DI memberikan pensiun dengan mendasarkan besarnya upah pekerja terakhir dan jaminan hari tua. "Ternyata amar putusan P4P belum dilaksanakan termohon pailit," ujar Heru yang juga hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) itu.

Teguran secara tertulis agar PT DI melaksanakan kewajibannya telah dilayangkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea pada 5 Oktober 2004. Karena belum dilaksanakan juga, pada 14 Juni 2005 giliran PN Pusat yang menegur termohon agar menaati putusan P4P.

Meski proses gugatan balik pemohon atas putusan P4P belum selesai, bukan berarti utang tersebut belum bisa ditagih. "Konsep hukum acara perdata mengatur adanya perlawanan tidak menunda eksekusi. Kewajiban termohon kepada pemohon telah jatuh waktu sehingga bisa ditagih," ujar Heru.

Dalih bahwa PT DI berprospek baik dan satu-satunya produsen pesawat terbang di Asia Tenggara juga dimentahkan majelis. "(Memang, Red) ada renstra, tapi ternyata hanya estimasi yang tidak didukung sarana dan prasarana berupa modal dan manajemen yang baik," beber Heru.

Dia lantas mengungkapkan, kinerja PT DI belum terbukti sehingga tidak cukup alasan untuk mempertahankannya. PT DI justru merugi Rp 5 miliar sesuai dokumen lima tahun terakhir yang dikeluarkan pada 2006.
Sumber: Pontianak Post, Rabu, 5 September 2007

No comments: