Tuesday, September 9, 2008

PT DI di Antara XAC, Airbus, dan Boeing

Ninok leksono

Tentu tidak sepadan membandingkan pabrik pesawat raksasa Amerika Serikat, Boeing, atau raksasa Eropa, Airbus, dengan PT Dirgantara Indonesia. Namun, dari Airbus dan Boeing sekalipun, PT DI dapat terus belajar tentang ilmu-ilmu apa saja yang perlu dimiliki untuk mengembangkan industri pesawat terbang yang unggul dan secara penjualan berjaya.

Boeing yang riwayatnya sudah terentang 91 tahun kini sedang berbunga-bunga setelah merebut kembali mahkota "raja pembuat pesawat" yang selama beberapa tahun sempat direbut oleh Airbus. Dengan produk baru yang menjadi andalannya, 787 Dreamliner, Boeing kembali percaya diri. Sebanyak 684 jet penumpang jarak menengah ini telah terjual kepada 47 klien dengan nilai 114 miliar dollar AS.

Pesawat 787 yang terbuat dari sistem yang sepenuhnya baru juga telah melahirkan kembali Boeing. Sistem pembuatan perakitan top-down dan "kami tahu semuanya" kini digantikan dengan system-integrator yang lebih kooperatif dan berbagi (power-sharing).

Perusahaan yang kini berpusat di Chicago ini juga belajar banyak untuk lebih mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh klien. Ini, seperti dikutip Coco Masters (Time, 17/9), satu pelajaran yang tidak mudah. Namun, Boeing justru jadi terbuka pikirannya akibat tekanan dari pesaing bebuyutannya, Airbus, yang terakhir telah menginvestasikan dana sebesar 10 miliar dollar AS untuk membuat superjumbo yang oleh Masters disebut sebagai "Spruce Goose modern".

Kalau Spruce Goose adalah itik raksasa yang urung mengangkasa, karya Airbus justru sedang akan mengawali satu era baru penerbangan mulai bulan depan. Setelah penyerahan pertama kepada maskapai Singapore Airlines 15 Oktober mendatang, superjumbo A-380 yang berkapasitas 555 penumpang akan memulai layanan komersial pertamanya dengan rute Singapura-Sydney pada pekan terakhir Oktober.

Bahwa Boeing bisa kembali menemukan kepercayaan diri kembali itu karena pengelolanya tak pernah patah semangat, memiliki jiwa kewirausahaan sejati, dan mau belajar dari pengalaman hari kemarin. Dengan didukung oleh inovasi teknologi, Boeing kini punya senjata baru, 787 Dreamliner, yang diyakini akan menjadi pilihan pertama penumpang.

Jet yang diluncurkan perdana Juli lalu di Seattle ini akan punya kelengkapan interior serba baru, dengan tekanan udara lebih besar, kelembaban udara lebih besar, jendela lebih besar, ruang lebih besar, tetapi emisi karbon per penumpang lebih kecil. Maskapai penerbangan diyakini akan menyukai pesawat yang berbiaya operasi dan pemeliharaan lebih rendah ini.

Ketika Airbus sedang berkutat mengatasi keterlambatan A-380 yang membuatnya harus merogoh 3 miliar dollar AS lagi, lalu juga memaksanya memberhentikan 10.000 karyawannya musim semi kemarin, keunggulan atas Boeing pun lepas. Dari jumlah pesanan pesawat hingga akhir tahun ini, Boeing dengan 701 pesanan, unggul 13 pesawat dibandingkan dengan Airbus. Raksasa Amerika ini juga mengumumkan keuntungan terbesar selama empat tahun terakhir (1,1 miliar dollar AS), dan untuk pertama kalinya bagian pesawat komersial mengalahkan bagian militer dalam segi omzet.
Sungguh riwayat yang mengesankan.

"Everett of the East"
Pada dasawarsa 1980-an, PT Dirgantara Indonesia (DI), yang kala itu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), sempat menimbulkan harapan besar. Pabriknya di Bandung, Jawa Barat, bertambah luas dan dilengkapi dengan peralatan mutakhir. Tidak sedikit tamu yang sempat berkunjung ke IPTN geleng-geleng kepala melihat kemodernan industri kedirgantaraan Indonesia ini.

Adanya mesin pemotong logam yang amat canggih, misalnya dengan diprogram bisa diminta melakukan pemotongan logam untuk menjadi buah catur yang rumit, serta perangkat lunak untuk desain dan manufacturing (CAD/CAM) Catia yang maju, termasuk hal yang mengundang decak kagum.

Setelah diawali dengan merakit pesawat turboprop CASA C-212, lalu dilanjutkan dengan usaha patungan dengan CASA Spanyol membuat CN-235 yang terbang perdana 31 Desember 1983, IPTN pun lalu merambah ke upaya pencapaian teknologi lebih maju, yang lalu mewujud pada N-250 yang terbang perdana 10 Agustus 1995, hadiah hebat bagi Tahun Emas RI. Bahkan, setelah itu, sempat pula diluncurkan proyek jet penumpang N-2130.

Ketika upaya terus dirintis untuk mengembangkan pesawat, datang krisis ekonomi 1997 yang memorak-porandakan semuanya. Atas badai yang datang ini, bisa saja Indonesia atau IPTN yang, setelah itu berubah menjadi PT DI, menyalahkan pihak lain. Namun, tetap ada pelajaran yang harus dipetik, antara lain IPTN/PT DI memang terlalu berat ke pencapaian teknologi, padahal sebagai perusahaan tugas pertamanya adalah memperoleh penghasilan agar perusahaan terus sehat dan bisa tumbuh.

Selanjutnya industri kedirgantaraan nasional ini pun harus tertatih-tatih, sampai sempat diberitakan harus membuat panci dan antena parabola. Lebih memprihatinkan lagi hubungan industrial antara manajemen dan karyawan pun memburuk, yang dampaknya berlarut hingga hari ini. Semuanya mencapai puncaknya dengan keluarnya keputusan pengadilan yang memailitkan perusahaan yang amat berkibar pada era Orde Baru ini.

Ini tentu riwayat yang tragis dan amat kontras dengan Boeing, yang meskipun sempat disusul oleh Airbus tetapi kemudian bisa merebut kembali posisi terunggulnya. Juga dikatakan tragis karena pada masa jaya, IPTN di Bandung sempat dijuluki "Everett of the East", meminjam Boeing dan kota yang menjadi pusat produksinya di Everett, dekat Seattle, negara bagian Washington.

Harus bangkit

Akan tetapi, PT DI tak boleh tenggelam dalam kesuraman. Pertama-tama perusahaan ini—dengan bantuan pemerintah—harus bisa menyelesaikan persoalannya dengan mantan karyawan secara sebaik-baiknya (dengan take and give, bersemangat win-win). Di bawah kepemimpinan dirut baru (Dr Budi Santoso yang banyak membawa kemajuan di PT Pindad sebelum ini) harapan tersebut ada.

PT DI harus dirombak secara fundamental dalam pola pikir dan pendekatan kerjanya, juga dalam memilih produk-produknya. Kalaupun kepada pimpinan nasional direksi baru menjelaskan ada prospek bisnis sekitar 600-700 juta dollar AS, seperti dicerminkan dalam negosiasi yang kini sedang dijalankan, hal itu masih membutuhkan dukungan modal awal yang tidak kecil.

Yang jelas, dari segi produknya PT DI harus tidak lagi berorientasi pada sesuatu yang serba canggih. Cukup satu N-250! Selanjutnya kembali ke ide untuk menghasilkan produk yang bisa menjadi "Bus Nusantara". Indonesia masih banyak membutuhkan pesawat seperti NC-212, CN-235 yang andal, tangguh, bandel untuk mendarat dan lepas landas dari landasan sederhana. Tidak perlu fly-by- wire, yang penting punya mesin dan alat navigasi andal.

Terakhir, banyak disinggung rencana pengembangan pesawat N-219, tetapi seperti dikutip Flight International (21/2/2006), diperlukan dana awal sebesar 75 juta dollar AS untuk meluncurkan proyek ini. Kalau memang itu sulit, mengapa tidak dijajaki kemungkinan untuk memulihkan kerja sama dengan EADS (induk CASA) yang dulu pernah menjadi mitra, tetapi hubungan kemudian runyam gara-gara IPTN keliru pendekatan.

Seperti dikemukakan dalam Asian Aerospace 2006 di Singapura, pihak EADS sudah membuka peluang dialog untuk pembukaan kembali kerja sama, antara lain dengan pembukaan fasilitas produksi C-212-400 di Bandung, dan PT DI membantu dalam pemasarannya di Asia, sedangkan CASA untuk bagian dunia lainnya.

Di era ketika mobilitas penduduk Indonesia makin tinggi— ditandai dengan maraknya industri angkutan penerbangan sejak adanya liberalisasi tahun 1999—potensi amat besar, dan akan akan lebih besar lagi kalau memperhitungkan daerah-daerah yang selama ini masih belum sepenuhnya dilayani, khususnya di wilayah timur Indonesia.

Selain peluang pesawat, PT DI juga punya peluang bisnis sebagai pemasok komponen bagi pabrik Boeing maupun Airbus, yang secara prinsip kini memang banyak mensubkontrakkan pembuatan komponen.

Peluang juga ada untuk produk militer, misalnya untuk pembuatan CN-235 MPA (Maritime Patrol Aircraft). CN-235 versi VIP juga produk lain yang bisa ditawarkan, toh Malaysia dan Pakistan sudah memesannya. Indonesia juga pasti membutuhkan CN-235 untuk hujan buatan dan misi SAR.

Tentu membeli pesawat membutuhkan dana. Namun, Indonesia harus mulai belajar membatasi kemudahan pembelian dengan cara mengimpor yang lazimnya memanfaatkan fasilitas kredit ekspor (KE).

Dengan fenomena ini, kini yang berpeluang menikmati adalah pabrikan lain, apakah itu PZL-Meilec dari Polandia atau XAC (Xi’an Aircraft Industry Company). Industri China ini terakhir berhasil menjual produk andalannya, pesawat turboprop MA-60 (atau Xinzhou-60), kepada Merpati Nusantara Airlines.

Pada sisi lain, XAC yang telah menjual produknya ke Zimbabwe, Zambia, Laos, Kongo (Xinhua, 4/10/2006), tentu juga bisa menjadi salah satu acuan PT DI untuk pengelolaan usaha yang berhasil.

Terakhir, pemerintah banyak mengumumkan akan memberi kesempatan lebih besar pada industri dalam negeri, termasuk PT DI. Jadi, kalau PT DI dapat lolos dari kemelut yang melilitnya sekarang ini dan kalau pemerintah konsisten dengan ucapannya, peluangnya masih sangat besar.

Kegagalan untuk membuat PT DI hidup jelas akan menjadi catatan hitam sejarah bangsa. Bagaimana satu negara dan bangsa dengan rentang geografis 5.300 kilometer, bersifat arsipelago, dan berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, tidak memiliki kesanggupan menghidupkan industri kedirgantaraan yang sebenarnya justru bisa amat membantu tegaknya persatuan, kesatuan, dan rasa kebangsaan?

No comments: