Monday, July 28, 2008

Menjaga Aset Intelektual Bangsa

Yasmi Adriansyah

Diplomat Indonesia di Jenewa, Alumnus Oxford University

Sebut saja namanya Handoyo. Ia adalah warga Indonesia yang pada 2005 lalu bersamaan dengan penulis menuntut ilmu di Oxford University, Inggris. Dalam usia muda, 25 tahun, ia belajar pada tingkat doktoral departemen fisika. Mengagumkan. Lebih mengagumkan lagi, pada masa sekolah menengah atas ia pernah mengharumkan nama Indonesia dengan menjadi pemenang pada olimpiade fisika internasional. Jadi, kalau dalam usia muda ia telah menempuh studi pada jurusan bergengsi di salah satu universitas tertua dunia tersebut, semuanya adalah rangkaian prestasi yang layak membanggakan negeri.
Namun, ketika ditanya rencana ke depan pascastudi doktoral di Oxford University, ia menjawab akan mencari kerja di luar negeri, baik sebagai peneliti, pengajar, maupun berkiprah di perusahaan multinasional. Ia tidak merencanakan untuk kembali ke Tanah Air. Paling tidak, kembali ke Indonesia bukanlah prioritas bagi dirinya.


Kontradiksi

Fenomena Handoyo hanyalah sedikit contoh kepergian sumber daya intelektual Indonesia ke belahan bumi yang lain (brain drain). Prestasi Handoyo dalam bidang akademis tentu membanggakan. Di sisi lain, keputusannya untuk tidak kembali ke Indonesia merupakan kehilangan yang tidak kecil bagi negeri kita. Sebuah kontradiksi yang menyedihkan.
Indonesia sejatinya merupakan salah satu negara produsen intelektual muda yang brilian. Prestasi baru-baru ini yang membanggakan adalah kemenangan Tim ITB pada Imagine Cup di Berlin, Jerman, dan perolehan lima medali emas siswa SD Indonesia pada Elementary Contest for Math di Hong Kong. Kemenangan tersebut bak oase sejuk di tengah panasnya gunjang-ganjing Tanah Air yang tidak selalu indah. Kemenangan mahasiswa ITB dan siswa SD Indonesia menambah deretan prestasi putra-putri bangsa pada tingkat internasional.
Di sisi lain, penyikapan kita sebaiknya tidak berhenti pada sikap berbangga hati. Sikap terpenting adalah jangan sampai prestasi tersebut hilang karena tidak dihargai. Jika itu yang terjadi, besar kemungkinan Handoyo-Handoyo lain akan terus mengikuti. Para peraih prestasi pun selayaknya tidak menunggu diberikan penghargaan dan pekerjaan layak. Mereka justru dituntut selalu inventif dan inovatif, meneruskan keilmuan sekaligus menciptakan produk yang dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis. Mereka diharapkan mampu menjaga aset kecerdasannya dan memberi nilai tambah pada kesejahteraan masyarakat.


Menjaga aset intelektual

Belajar dari pengalaman negara-negara maju, salah satu cara mereka dalam menjaga aset kecerdasan dan memberi nilai ekonomis atas aset adalah melalui perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI), khususnya melalui sistem paten jika terkait teknologi atau kekayaan intelektual industri. Jika ditilik dari catatan lima tahun terakhir dari statistik aplikasi paten internasional, mayoritas negara yang selalu mencatatkan nilai tertinggi adalah negara maju (WIPO, 2008. International Patent System, Developments and Performance in 2007). Karena itulah lazim kita dengar bahwa negara maju identik dengan negara yang memiliki dan menguasai industri bermuatan teknologi.
Jika merujuk pada referensi tersebut maka cara pertama bagi putra-putri Indonesia dalam menjaga aset intelektual adalah melalui proses penemuan dan inovasi berkelanjutan dan kemudian mendaftarkan temuan atau inovasinya ke dalam sistem paten. Dengan terdaftarnya temuan atau inovasi tersebut ke dalam sistem paten, ada perlindungan atas suatu temuan inventif atau inovatif sehingga tercipta sebuah pengakuan dan penghargaan.
Melalui sistem paten, sebuah temuan atau inovasi produk teknologi diharuskan mempunyai manfaat terapan pada industri. Dengan persyaratan ini, sebuah temuan atau inovasi yang telah dipatenkan selayaknya mempunyai nilai ekonomis, paling tidak bagi penemunya dan industri yang menggunakannya. Sebagai konsekuensi logis, jika di suatu negara terdapat banyak penemu dan atau inovator, bisa dibayangkan kontribusi mereka terhadap pertumbuhan eksponensial perekonomian negaranya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah memungkinkan putra-putri Indonesia mampu bersaing secara internasional dengan negara maju melalui sistem paten? Apalagi kompetensi negara maju, baik dari sisi teknologi, sumber daya manusia maupun fasilitasi aktivitas penelitian, jauh melampaui kapasitas negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Asumsi di atas di satu sisi memang tidak salah, tetapi bisa dikatakan tidak sepenuhnya benar. Salah satu negasi yang konkret adalah fenomena Korea Selatan. Sekitar 40 tahun lalu, negara itu masih parah, bahkan bisa disejajarkan dengan kondisi perekonomian mayoritas negara Afrika saat ini. Namun, Korsel kini telah memasuki kondisi perekonomian yang bahkan sudah bisa disetarakan dengan negara maju. Salah satu bukti majunya Korsel adalah tingginya kuantitas aplikasi paten internasional. Dalam lima tahun terakhir ini aplikasi paten internasional Korsel berada dalam kisaran lima tertinggi di dunia, bersama-sama AS, Jepang, dan Jerman. (WIPO, 2008. Ibid).
Hal lain yang dapat dimanfaatkan negara berkembang dari sistem paten internasional adalah adanya skema ‘fleksibilitas’. Melalui skema ini, baik yang dimuat di dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property maupun Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), standar perlindungan paten dapat disesuaikan dengan tingkat pembangunan masing-masing negara.
Berdasarkan hal tersebut, negara seperti Indonesia sejatinya juga mempunyai kesempatan yang sama. Jika putra-putri kita mampu bersaing dalam ajang kompetisi ilmiah antarbangsa, adalah logis jika mereka juga mampu bersaing dalam sistem paten internasional.Berangkat dari keyakinan di atas maka sudah selayaknya terus dipikirkan untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas aset intelektual bangsa melalui sistem perlindungan HKI, khususnya paten. Ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, proses penelitian teknologi di universitas atau sekolah-sekolah tinggi harus lebih intensif diarahkan ke dalam sistem paten. Dalam konteks tersebut, dunia pendidikan tinggi perlu lebih menyeimbangkan pendidikan HKI dari pendekatan hukum kepada pendekatan teknologi. Berdasarkan sejumlah kajian, pendidikan HKI di banyak negara berkembang lebih ditekankan pada aspek proteksi (hukum) dan kurang memerhatikan dimensi penemuan atau inovasi teknologi. Kini merupakan keniscayaan bagi subjek HKI untuk diajarkan di institut-institut teknologi atau di bawah fakultas-fakultas teknik agar lebih tercipta keseimbangan yang bermanfaat.
Kedua, dunia industri memainkan peranan sangat penting selaku pihak yang kelak akan mengeksploitasi produk-produk yang telah dipatenkan. Oleh karena itu kerja sama antara dunia industri dan civitas akademika merupakan sebuah potensi yang perlu lebih didayagunakan. Kerja sama bisa dimulai dari pembiayaan penelitian yang dianggap prospektif sampai dengan proses negosiasi pemberian lisensi yang bernilai ekonomis. Terakhir, peranan pemerintah selaku regulator dan fasilitator merupakan subjek penting yang harus terus dijaga kinerjanya.
Selain berperan sebagai pihak yang berwenang memberikan hak atas kekayaan intelektual, pemerintah perlu lebih memberikan perhatian pada komunitas civitas akademika yang kerap menjerit akibat minimnya alokasi anggaran pengembangan riset dan teknologi.Peranan yang tak kalah penting dari pemerintah adalah untuk tidak pernah lelah memberikan kesadaran dan keyakinan bagi masyarakat bahwa sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi keilmuan dan teknologi yang tidak kecil. Dalam konteks tersebut, intelektual-intelektual muda kita sudah membuktikannya. Jika ketiga unsur utama tadi, yaitu universitas, dunia industri, dan pemerintah, mampu terus bersinergi, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Sumber: Republika, Jumat, 25 Juli 2008.

Monday, July 21, 2008

Asia, "Trend Setter" Dunia Penerbangan


Getty Images/Chung Sung-Jun / Kompas Images Pesawat terbang penumpang terbesar di dunia, Airbus A380, di areal parkir Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan, dua tahun lalu. Singapore Airlines tercatat sebagai perusahaan penerbangan komersial pertama di dunia yang menggunakan pesawat superjumbo tersebut, 25 Oktober 2007, dalam penerbangan Singapura-Sydney. Tak heran jika Singapore Airlines menyandang predikat trend setter penerbangan dunia.
Dudi Sudibyo
From the rudimentary two-seat machines operated by the Wright Brothers in the early 1900s to this new, double-deck super-jumbo, commercial aviation has certainly come a long way. At each step, major milestones have marked progress. Today is another of those milestones.
(Dari wujud pesawat sederhana dua-kursi yang diterbangkan Wright Bersaudara pada awal tahun 1900-an sampai superjumbo dua lantai, penerbangan komersial telah menempuh waktu yang amat panjang. Pada setiap langkahnya, meninggalkan tonggak besar kemajuan. Hari ini langkah itu terjadi lagi.)
Milestone baru yang disebut Letnan Jenderal (Purn) Bey Soo Khiang, senior executive vice president operations and planning tersebut, adalah penerbangan perdana Eropa-Asia 13,5 jam superjumbo Airbus A380 Singapore Airlines dari Bandar Udara Heathrow, Inggris, ke Changi, Singapura, 18 Maret 2008.
Tonggak sebelumnya, pendaratan penerbangan reguler pertama A380 Singapura-London empat jam sebelum terbang perdana Eropa-Asia, dan terbang komersial pertama superjumbo Singapura-Sydney 25 Oktober 2007. Tonggak berikutnya bulan ini, 20 Mei 2008, yakni penerbangan A380 intra-Asia antara Singapura dan Tokyo, Jepang.
Tonggak-tonggak tersebut kali ini mengantarkan dan mengokohkan Asia sebagai trend setter penerbangan dunia. Maskapai Asia-lah, dalam wujud Singapore Airlines—launch customer A380—saat ini yang menyandang predikat trend setter penerbangan dunia. Dikukuhkan lagi Singapura menjadi mayor perhubungan dunia dengan terminal 3 baru Bandara Changi.
Predikat itu diperkokoh lagi oleh All Nippon Airlines dari Jepang, launch customer pesawat jenis baru mid-sized Boeing 787 Dreamliner. Tidak ada maskapai penerbangan Amerika Serikat yang memesan superjumbo maupun menjadi launch customer mid-sized Dreamliner, pesawat buatan AS sendiri.
Pada masa silam, produk-produk baru Boeing selalu dibeli maskapai AS, dan selama lebih dari enam dekade maskapai Pan American (Pan Am) dari AS tidak tergoyahkan menjadi panutan dunia hingga tersandung bangkrut pada tahun 1991. Saat ini AS ketinggalan jauh. Usia armada maskapai negara adikuasa ini rata-rata sudah 35 tahun; bandingkan dengan armada Eropa dan Asia yang rata-rata 10-12 tahun, dengan Singapore Airlines termuda di dunia, rata-rata 6,7 tahun.
Penerbangan perdana London-Singapura itu mengingatkan penerbangan perdana komersial jumbojet Boeing 747 Pan Am New York-London 21 Januari 1970. Saat itu Boeing 747 merupakan pesawat penumpang terbesar dunia dan Pan Am, launch customer-nya, ikut menyandang dana pembuatan 747—pesawat yang hampir membangkrutkan Boeing maupun Pan Am.
Pemberangkatannya tidak semulus superjumbo Airbus A380 Singapore Airlines London-Singapura yang jarak terbangnya lebih jauh. Saat jumbojet 747 itu menggelinding di taxiway, pesawat kembali ke pelataran parkir akibat suhu salah satu mesin tiba-tiba meninggi. Tujuh jam kemudian, 332 tamu dan 20 awak penerbangan perdana ini baru dapat diberangkatkan dengan pesawat pengganti yang ditarik dari pelatihan.
Ikon penerbangan
Saat itu Pan Am adalah pemesan tunggal 747 sebanyak 25 unit, jauh di bawah titik impas 250 pesawat yang diproyeksikan Boeing. Maskapai lain berpendapat terlalu mahal untuk mengoperasikan burung besi raksasa ini, kurang berminat membeli, mengalihkan pesanan pada jenis pesawat baru lainnya yang lebih kecil, wide-body (badan lebar) DC-10 (Douglas Company kemudian menjadi McDonnell Douglas dengan produknya MD-11), dan L-1011 Tristar buatan pabrik Lockheed.
Pasar menyatakan lain, jumbojet 747 membuka era baru penerbangan, menekan biaya penerbangan yang memungkinkan lapisan masyarakat menengah-bawah dapat menikmati penerbangan. Pan Am tidak salah perhitungan, maskapai-maskapai penerbangan dunia mengekornya, juga mengoperasikan jumbojet dan menjadikan Boeing 747 ikon penerbangan.
Baik pabrik Airbus maupun Singapore Airlines sebagai operator pertamanya—seperti halnya Boeing dan Pan Am pada masa lalu—mengharapkan superjumbo A380 yang dirancang mengangkut lebih dari 800 penumpang bakal menjadi ikon baru dunia penerbangan. Nuansa antusiasme terbang dengan burung besi raksasa A380 tidak ubahnya saat jumbojet 747 mulai melayani penerbangan regulernya.
”Kami masih menunggu dua puluh tiga orang lagi,” ujar petugas check-in counter empat jam sebelum A380 Singapore Airlines dengan konfigurasi 471 kursi lepas landas dari Heathrow.
Kursinya terisi penuh, baik sewaktu terbang perdana Asia (Singapura)-Eropa (London) maupun pada penerbangan sebaliknya. Bahkan, 17 penumpang dari sembilan negara yang ikut dalam penerbangan komersial pertama A380 ke Sydney, Oktober 2007, ikut lagi dalam penerbangan perdana ke dan dari Eropa tersebut.
”Penumpang kelas utama harus merogoh 6.825 poundsterling sekitar Rp 122,8 juta), dan mereka yang membeli tiket kelas ekonomi, 687 poundsterling (Rp 12,3 juta),” tulis Daily Express memberitakan penerbangan bersejarah tersebut. Sementara The Daily Mail memberitakan, pasangan yang ingin menikmati double-bed cabin suite A380 Singapore Airlines tiketnya 14.000 poundsterling (Rp 252 juta). ”Ada 12 single cabin—empat di antaranya dapat diubah menjadi dua double-suites tertutup dengan dinding setinggi lima kaki, pintu geser, dan tirai tarik,” katanya menambahkan.
Khas Inggris, menyambut pendaratan perdana A380 Singapore Airlines di London, The Daily Mail menulis, pesawatnya dibuat di Perancis, tetapi mengudara berkat sayap dan mesin buatan Inggris. Menurut catatan saya, sayapnya dibuat oleh pabrik British Aerospace di Broughton, Inggris, di mana salah satu komponennya (inboard outer fixed leading edge) disubkontrakkan pembuatannya kepada pabrik pesawat PT Dirgantara Indonesia di Bandung. Mesinnya, empat Trent 900, adalah buatan pabrik mesin pesawat Inggris Rolls-Royce yang nyantel pada sayapnya, saat lepas landas menghasilkan daya dorong sama dengan lebih dari 3.500 mobil sedan.
Secara pribadi, terbang perdana jarak jauh Eropa-Asia yang serba hening berkat mesin ramah lingkungan Rolls-Royce Trent 900 amat mengesankan. Di atas ketinggian 35.000 kaki, Kapten Pilot BK Chin memberikan kartu ulang tahun dan dua pramugari cantik The Singapore Girl menghadiahkan kue ulang tahun.
Bersama penumpang kelas bisnis lainnya, mereka menyanyikan lagu Happy Birthday—hari itu, 19 Maret, adalah hari kelahiran saya. Tidak terpikir bahwa ada yang ingat hari pribadi itu dan merayakan nun tinggi di atas langit, bahkan saya sendiri lupa sehingga kartu dan kue yang dihadiahkan sekitar dua jam sebelum mendarat di Changi merupakan suatu kejutan yang luar biasa.
Kurang dilirik
Pada masa lalu, maskapai Asia era dekade 1950 dan 1960 serta 1970 kurang dilirik penumpang dunia. Saat itu posisi Pan Am paling top, dengan British Overseas Airlines Corporation (BOAC), KLM, Air France, dan Lufthansa mengekor di belakangnya. Penumpang masih memincingkan mata kepada Malayan Airways Limited (MAL, cikal bakal Singapore Airlines) meski pesawat Super Constellation (terbesar saat itu) Bristol Britannia dan jet penumpang pertama dunia Comet IV memperkuat armadanya.
Saat MAL berubah menjadi Malaysia-Singapore Airlines (MSA tahun 1966) dan mengoperasikan Boeing 707, serta perancang busana terkemuka Perancis, Pierre Balmain, menciptakan seragam pramugari sarung kebaya yang terkenal sampai saat ini, pilihan utama penumpang udara masih tetap terfokus ke Pan Am, launch customer Boeing 707, kemudian maskapai Eropa yang dianggap lebih prestisius.
Cathay Pacific pun kurang dilirik penumpang. Demikian pula Garuda Indonesian Airways yang armadanya terdiri atas Lockheed Electra dan jet penumpang Convair 990 Coronado. JAL dari Jepang dan Thai Airways dari Thailand juga belum menjadi prioritas pilihan penumpang ke Amerika dan Eropa. Bahkan, UTA dari Perancis, yang reputasinya pun sedang-sedang saja, dipilih untuk penerbangan dari Singapura ke Eropa.
Zaman berubah. Tahun 1972 MSA pecah menjadi Malaysian Airline System (MAS) dan Singapore Airlines (SIA), memasuki dekade 1980 flag carrier Singapura mulai membuat kejutan-kejutan dengan memperkenalkan pesawat badan lebar Airbus A300, jumbojet B7470-300, Boeing 757, serta Airbus A310-200. Kejutan besar signifikannya, saat menjadi maskapai pertama melayani penerbangan nonstop trans-Pasifik dengan jumbojet Boeing 747-400. Jeli melihat peluang, padahal Pan Am yang singgah di Hawaii sebenarnya berpeluang menjadi yang pertama memperkenalkan layanan tersebut.
Memasuki era 1990-an, seiring maskapai-maskapai penerbangan Asia jadi favorit penumpang, maskapai Singapura ini tambah melejit, terutama dengan bangkrutnya Pan Am pada tahun 1991 serta gencarnya layanan-layanan baru yang mereka perkenalkan. Dalam era ini maskapai tersebut memborong 139 pesawat baru, 77 di antaranya produk terbaru Boeing.
Kembali maskapai negara pulau Singapura yang luasnya kalah dibandingkan luas kota Jakarta ini mengejutkan dunia dengan menjadi launch customer Airbus A380, memesan 25 superjumbo senilai 8,6 miliar dollar AS pada tahun 2000. Dua tahun lalu, memesan 20 produk terbaru Boeing mid-sized jet 787 Dreamliner, jetliner terlaris dunia—lebih dari 800 unit dipesan operator dunia, padahal pesawatnya belum terbang. Pesanan ini ditambah lagi dengan 20 Airbus A350 XWB-900, pesaing Dreamliner—pesawat yang masih di meja rancang Airbus dan baru akan terbang tahun 2013.
Langkah yang ditempuh tersebut tidak lain adalah agar selalu berada di depan. ”Kami akan tetap memfokuskan diri pada bisnis penerbangan dan yang terkait dengan bisnis ini,” kata Bey Soo Khiang, agar tidak tersandung seperti Pan Am di masa silam.
Oleh: Dudi Sudibyo Wartawan, Tinggal di Jakarta


Sumber: Kompas, Rabu, 21 Mei 2008




Airbus A380: A new breed of airplane

Kenny Santana, Contributor, Toulouse, France

After 18 months of delays, Airbus finally delivered its much-awaited A380 on Oct. 15, in a glittering ceremony at the Airbus Delivery Center in Toulouse, southwest of France.
Long before D-day, Airbus' new baby had been the talk of the aviation industry. The reasons are obvious: this double-decker plane can accommodate around 555 people onboard in three class configurations, not to mention that it consumes less fuel.
As Airbus puts it, it's a greener, cleaner, quieter and smarter plane.
As the first carrier to fly the passenger plane, Singapore Airlines will use the A380 for the Singapore-Sydney route.
Thomas Burger, the senior marketing analyst for A380, explained at the launch that the birth of the A380 was a combination of market needs and Airbus' will to invent a better plane in its class.
""The market for large aircraft is led by the Boeing 747 with a 35 percent share. With the new A380, Airbus will be able to compete in this market. And we're confident the A380 will be the most important flagship for the next 30 years.""
However, the delays caused rumors to fly behind the scenes. Burger said the problem was wiring that had to be reinstalled and developed.
""We'd like to deliver the best to our customers. And it turns out that with more time, in the end we became fundamentally solid, even exceeding our expectations,"" he said.
Sitting together with CEOs from Rolls Royce (Sir John Rose) and Singapore Airlines (Chew Choon Seng), Airbus' CEO Thomas Enders said of the delay that they had underestimated the complexity of the aircraft and that the Airbus team (French in Toulouse and German in Hamburg) was not integrated enough.
""Nothing is guaranteed in life. The (A380) is not coming automatically, it is not a walk in the park,"" he reminded.
It certainly is not. For years the development of the A380 has been watched by the aviation industry. Its initial $12 billion budget swelled to over $18 billion, with Airbus losing a reported $7 billion.
However, all the hard work seemed to have paid off at the launch. The more than 500 international guests were treated to a slide presentation. The first thing they noticed, of course, was the plane's big capacity, but they were also informed it is eco-friendly.
Nicknamed the Gentle Green Giant, the A380 along with its Rolls Royce Trent 900 engines -- chosen by Singapore Airlines and seven other airlines to power their A380s -- has set the target for the cleanest and greenest aircraft today. On a seat-mile basis, the A380 burns around 20 percent less fuel than today's large aircraft with carbon dioxide emissions per passenger lower than any other aircraft's.
The A380 produces only half the noise energy at take-off, reducing by half the noise level around the airport runway, making it the quietest large passenger jet ever built. The quiet factor is also experienced inside the cabin.
Comfort is certainly A380's primary goal. In a tour of the cabin, invitees were taken from economy class to business, to the all-new suites.
The 12 private cabins of the suites were created by French yacht designer Jean-Jacques Coste and are equipped with a hand-stitched leather chair, Bose headphones, personal jacket storage room and a double bed -- from two seats arranged together completed by sliding doors and roller blinds for further intimacy.
Proud Chew Choon Seng said to the Toulouse ceremony guests: ""From today, there is a new queen of the sky for air travel ... This is the plane for today and tomorrow"".
He said the Boeing 747 was regrettably a ""has-been"" and history marched onward.
Indeed, the A380 is only the beginning of the new history of the aviation world. Working forward from what A380 has achieved, Thomas Burger stated that Airbus is projecting for zero emission airplanes for the future. ""The journey will never end, but today we're one step closer."" A380 is that step.

A380 FACT SHEET

  • Aircraft Range: 7,100 nautical-miles
  • Engines: 4 X Rolls Royce Trent 900
  • Aircraft Capacity: 471 in 3 class layout
  • Configuration: 12 Suites, 60 Business Class, 399 Economy Class
  • Height: 24.1 m Length: 73 m
  • Fuselage Diameter: 7.1 m
  • Cabin Length: 49.9 m
  • Maximum Cabin Width (Main Deck): 6.6 m
  • Maximum Cabin Width (Upper Deck): 5.9 m
  • Wing Area: 845 m2
  • Wingspan: 79.8 m (wing tip to wing tip)

Source: The Jakarta Post , Monday, 10/29/2007

State airplane producer DI wins European award for best supplier

State-owned airplane producer PT Dirgantara Indonesia (DI) received the Best Performance Supplier 2007 award on Tuesday from major Airbus aerostructure supplier Spirit AeroSystems Europe Ltd.

In remarks made at Spirit's headquarters in Bandung, West Java, spokesman Simon J. Collins said the award was intended to show appreciation for DI's leading-edge manufacturing ability and delivery system.

Meanwhile, DI President director Budi Santoso said the company would finish 15 sets of Airbus A380 wing components and parts this year and 25 more sets over the next three years.

The company, Budi said, was also producing 30 sets of Airbus A320 wing components and parts each month.

"This award is a token of trust that helps boost our confidence in competing in the global market."

Within two years the airline company hopes to double its 1 percent share in the global airplane components assembly market, an industry whose size could reach US$5 billion this year, according to Budi.

In line with growing global demand for airplanes and the company's improving performance, orders for components come from foreign manufacturers including Airbus, Boeing, Bombardier, EADS, CASA and Eurocopter and are expected to grow significantly, Budi said without elaborating.

He added new deals were being negotiated with Airbus, Hawker and Eurocopter.

To meet the growing demand, he said, the company has been revitalizing outdated technology infrastructure through a series of new investments.

The airline producer is also receiving local orders, including from the Indonesian government for three Superpuma air fighters.

However the planes which cost between $16 and $18 million were only 50 to 80 percent complete "due to payment problems", he said.

"Hopefully this year the government will be able to release the funds."

Aside from Superpuma, Dirgantara also produces the Maritime Patrol Aircraft (MPA), which is currently in high demand globally.

"Korea is interested in buying MPAs from us."

Last year the company narrowly avoided liquidation after finding itself in Commercial Court bankruptcy proceedings.

In September the company was to have been wound up to pay creditors and make severance payments to some 6,500 former employees.

However, in October an appeal by DI was accepted by the Supreme Court.

The company was ordered to pay compensation worth Rp 200 billion (about $21.8 million) to the former workers, but the dispute has yet to reach a final conclusion.
Source: The Jakarta Post , Friday, 03/14/2008