Monday, July 21, 2008

Asia, "Trend Setter" Dunia Penerbangan


Getty Images/Chung Sung-Jun / Kompas Images Pesawat terbang penumpang terbesar di dunia, Airbus A380, di areal parkir Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan, dua tahun lalu. Singapore Airlines tercatat sebagai perusahaan penerbangan komersial pertama di dunia yang menggunakan pesawat superjumbo tersebut, 25 Oktober 2007, dalam penerbangan Singapura-Sydney. Tak heran jika Singapore Airlines menyandang predikat trend setter penerbangan dunia.
Dudi Sudibyo
From the rudimentary two-seat machines operated by the Wright Brothers in the early 1900s to this new, double-deck super-jumbo, commercial aviation has certainly come a long way. At each step, major milestones have marked progress. Today is another of those milestones.
(Dari wujud pesawat sederhana dua-kursi yang diterbangkan Wright Bersaudara pada awal tahun 1900-an sampai superjumbo dua lantai, penerbangan komersial telah menempuh waktu yang amat panjang. Pada setiap langkahnya, meninggalkan tonggak besar kemajuan. Hari ini langkah itu terjadi lagi.)
Milestone baru yang disebut Letnan Jenderal (Purn) Bey Soo Khiang, senior executive vice president operations and planning tersebut, adalah penerbangan perdana Eropa-Asia 13,5 jam superjumbo Airbus A380 Singapore Airlines dari Bandar Udara Heathrow, Inggris, ke Changi, Singapura, 18 Maret 2008.
Tonggak sebelumnya, pendaratan penerbangan reguler pertama A380 Singapura-London empat jam sebelum terbang perdana Eropa-Asia, dan terbang komersial pertama superjumbo Singapura-Sydney 25 Oktober 2007. Tonggak berikutnya bulan ini, 20 Mei 2008, yakni penerbangan A380 intra-Asia antara Singapura dan Tokyo, Jepang.
Tonggak-tonggak tersebut kali ini mengantarkan dan mengokohkan Asia sebagai trend setter penerbangan dunia. Maskapai Asia-lah, dalam wujud Singapore Airlines—launch customer A380—saat ini yang menyandang predikat trend setter penerbangan dunia. Dikukuhkan lagi Singapura menjadi mayor perhubungan dunia dengan terminal 3 baru Bandara Changi.
Predikat itu diperkokoh lagi oleh All Nippon Airlines dari Jepang, launch customer pesawat jenis baru mid-sized Boeing 787 Dreamliner. Tidak ada maskapai penerbangan Amerika Serikat yang memesan superjumbo maupun menjadi launch customer mid-sized Dreamliner, pesawat buatan AS sendiri.
Pada masa silam, produk-produk baru Boeing selalu dibeli maskapai AS, dan selama lebih dari enam dekade maskapai Pan American (Pan Am) dari AS tidak tergoyahkan menjadi panutan dunia hingga tersandung bangkrut pada tahun 1991. Saat ini AS ketinggalan jauh. Usia armada maskapai negara adikuasa ini rata-rata sudah 35 tahun; bandingkan dengan armada Eropa dan Asia yang rata-rata 10-12 tahun, dengan Singapore Airlines termuda di dunia, rata-rata 6,7 tahun.
Penerbangan perdana London-Singapura itu mengingatkan penerbangan perdana komersial jumbojet Boeing 747 Pan Am New York-London 21 Januari 1970. Saat itu Boeing 747 merupakan pesawat penumpang terbesar dunia dan Pan Am, launch customer-nya, ikut menyandang dana pembuatan 747—pesawat yang hampir membangkrutkan Boeing maupun Pan Am.
Pemberangkatannya tidak semulus superjumbo Airbus A380 Singapore Airlines London-Singapura yang jarak terbangnya lebih jauh. Saat jumbojet 747 itu menggelinding di taxiway, pesawat kembali ke pelataran parkir akibat suhu salah satu mesin tiba-tiba meninggi. Tujuh jam kemudian, 332 tamu dan 20 awak penerbangan perdana ini baru dapat diberangkatkan dengan pesawat pengganti yang ditarik dari pelatihan.
Ikon penerbangan
Saat itu Pan Am adalah pemesan tunggal 747 sebanyak 25 unit, jauh di bawah titik impas 250 pesawat yang diproyeksikan Boeing. Maskapai lain berpendapat terlalu mahal untuk mengoperasikan burung besi raksasa ini, kurang berminat membeli, mengalihkan pesanan pada jenis pesawat baru lainnya yang lebih kecil, wide-body (badan lebar) DC-10 (Douglas Company kemudian menjadi McDonnell Douglas dengan produknya MD-11), dan L-1011 Tristar buatan pabrik Lockheed.
Pasar menyatakan lain, jumbojet 747 membuka era baru penerbangan, menekan biaya penerbangan yang memungkinkan lapisan masyarakat menengah-bawah dapat menikmati penerbangan. Pan Am tidak salah perhitungan, maskapai-maskapai penerbangan dunia mengekornya, juga mengoperasikan jumbojet dan menjadikan Boeing 747 ikon penerbangan.
Baik pabrik Airbus maupun Singapore Airlines sebagai operator pertamanya—seperti halnya Boeing dan Pan Am pada masa lalu—mengharapkan superjumbo A380 yang dirancang mengangkut lebih dari 800 penumpang bakal menjadi ikon baru dunia penerbangan. Nuansa antusiasme terbang dengan burung besi raksasa A380 tidak ubahnya saat jumbojet 747 mulai melayani penerbangan regulernya.
”Kami masih menunggu dua puluh tiga orang lagi,” ujar petugas check-in counter empat jam sebelum A380 Singapore Airlines dengan konfigurasi 471 kursi lepas landas dari Heathrow.
Kursinya terisi penuh, baik sewaktu terbang perdana Asia (Singapura)-Eropa (London) maupun pada penerbangan sebaliknya. Bahkan, 17 penumpang dari sembilan negara yang ikut dalam penerbangan komersial pertama A380 ke Sydney, Oktober 2007, ikut lagi dalam penerbangan perdana ke dan dari Eropa tersebut.
”Penumpang kelas utama harus merogoh 6.825 poundsterling sekitar Rp 122,8 juta), dan mereka yang membeli tiket kelas ekonomi, 687 poundsterling (Rp 12,3 juta),” tulis Daily Express memberitakan penerbangan bersejarah tersebut. Sementara The Daily Mail memberitakan, pasangan yang ingin menikmati double-bed cabin suite A380 Singapore Airlines tiketnya 14.000 poundsterling (Rp 252 juta). ”Ada 12 single cabin—empat di antaranya dapat diubah menjadi dua double-suites tertutup dengan dinding setinggi lima kaki, pintu geser, dan tirai tarik,” katanya menambahkan.
Khas Inggris, menyambut pendaratan perdana A380 Singapore Airlines di London, The Daily Mail menulis, pesawatnya dibuat di Perancis, tetapi mengudara berkat sayap dan mesin buatan Inggris. Menurut catatan saya, sayapnya dibuat oleh pabrik British Aerospace di Broughton, Inggris, di mana salah satu komponennya (inboard outer fixed leading edge) disubkontrakkan pembuatannya kepada pabrik pesawat PT Dirgantara Indonesia di Bandung. Mesinnya, empat Trent 900, adalah buatan pabrik mesin pesawat Inggris Rolls-Royce yang nyantel pada sayapnya, saat lepas landas menghasilkan daya dorong sama dengan lebih dari 3.500 mobil sedan.
Secara pribadi, terbang perdana jarak jauh Eropa-Asia yang serba hening berkat mesin ramah lingkungan Rolls-Royce Trent 900 amat mengesankan. Di atas ketinggian 35.000 kaki, Kapten Pilot BK Chin memberikan kartu ulang tahun dan dua pramugari cantik The Singapore Girl menghadiahkan kue ulang tahun.
Bersama penumpang kelas bisnis lainnya, mereka menyanyikan lagu Happy Birthday—hari itu, 19 Maret, adalah hari kelahiran saya. Tidak terpikir bahwa ada yang ingat hari pribadi itu dan merayakan nun tinggi di atas langit, bahkan saya sendiri lupa sehingga kartu dan kue yang dihadiahkan sekitar dua jam sebelum mendarat di Changi merupakan suatu kejutan yang luar biasa.
Kurang dilirik
Pada masa lalu, maskapai Asia era dekade 1950 dan 1960 serta 1970 kurang dilirik penumpang dunia. Saat itu posisi Pan Am paling top, dengan British Overseas Airlines Corporation (BOAC), KLM, Air France, dan Lufthansa mengekor di belakangnya. Penumpang masih memincingkan mata kepada Malayan Airways Limited (MAL, cikal bakal Singapore Airlines) meski pesawat Super Constellation (terbesar saat itu) Bristol Britannia dan jet penumpang pertama dunia Comet IV memperkuat armadanya.
Saat MAL berubah menjadi Malaysia-Singapore Airlines (MSA tahun 1966) dan mengoperasikan Boeing 707, serta perancang busana terkemuka Perancis, Pierre Balmain, menciptakan seragam pramugari sarung kebaya yang terkenal sampai saat ini, pilihan utama penumpang udara masih tetap terfokus ke Pan Am, launch customer Boeing 707, kemudian maskapai Eropa yang dianggap lebih prestisius.
Cathay Pacific pun kurang dilirik penumpang. Demikian pula Garuda Indonesian Airways yang armadanya terdiri atas Lockheed Electra dan jet penumpang Convair 990 Coronado. JAL dari Jepang dan Thai Airways dari Thailand juga belum menjadi prioritas pilihan penumpang ke Amerika dan Eropa. Bahkan, UTA dari Perancis, yang reputasinya pun sedang-sedang saja, dipilih untuk penerbangan dari Singapura ke Eropa.
Zaman berubah. Tahun 1972 MSA pecah menjadi Malaysian Airline System (MAS) dan Singapore Airlines (SIA), memasuki dekade 1980 flag carrier Singapura mulai membuat kejutan-kejutan dengan memperkenalkan pesawat badan lebar Airbus A300, jumbojet B7470-300, Boeing 757, serta Airbus A310-200. Kejutan besar signifikannya, saat menjadi maskapai pertama melayani penerbangan nonstop trans-Pasifik dengan jumbojet Boeing 747-400. Jeli melihat peluang, padahal Pan Am yang singgah di Hawaii sebenarnya berpeluang menjadi yang pertama memperkenalkan layanan tersebut.
Memasuki era 1990-an, seiring maskapai-maskapai penerbangan Asia jadi favorit penumpang, maskapai Singapura ini tambah melejit, terutama dengan bangkrutnya Pan Am pada tahun 1991 serta gencarnya layanan-layanan baru yang mereka perkenalkan. Dalam era ini maskapai tersebut memborong 139 pesawat baru, 77 di antaranya produk terbaru Boeing.
Kembali maskapai negara pulau Singapura yang luasnya kalah dibandingkan luas kota Jakarta ini mengejutkan dunia dengan menjadi launch customer Airbus A380, memesan 25 superjumbo senilai 8,6 miliar dollar AS pada tahun 2000. Dua tahun lalu, memesan 20 produk terbaru Boeing mid-sized jet 787 Dreamliner, jetliner terlaris dunia—lebih dari 800 unit dipesan operator dunia, padahal pesawatnya belum terbang. Pesanan ini ditambah lagi dengan 20 Airbus A350 XWB-900, pesaing Dreamliner—pesawat yang masih di meja rancang Airbus dan baru akan terbang tahun 2013.
Langkah yang ditempuh tersebut tidak lain adalah agar selalu berada di depan. ”Kami akan tetap memfokuskan diri pada bisnis penerbangan dan yang terkait dengan bisnis ini,” kata Bey Soo Khiang, agar tidak tersandung seperti Pan Am di masa silam.
Oleh: Dudi Sudibyo Wartawan, Tinggal di Jakarta


Sumber: Kompas, Rabu, 21 Mei 2008




No comments: