Ini adalah perkembangan yang tak terduga mengingat sebelumnya, yakni pada 29 September 1999, pemerintah RI (dalam hal ini Presiden BJ Habibie) nampak masih optimis ketika menerima limpahan Hak Atas Kekayaan Intelektual N2130 menyusul pembubaran PT Dua Satu Tiga Puluh yang telah dilakukan pada 15 Desember 1998.
"Kami sendiri bingung. Pak Rahardi Ramelan sudah jarang ke kantor karena banyaknya acara kenegaraan. Terlebih dari itu kita pun tak tahu siapa yang akan duduk dalam kabinet mendatang," ujar seorang staf Humas Departemen Perindustrian dan Perdagangan kepada Angkasa, 21 Oktober silam. Penuturan ini mengesankan bahwa jika kabinet Abdurrahman Wahid tak berminat dengan N2130, praktis akan tamatlah riwayat proyek prestis ini.
Meputusan penyerahan yang diambil pemerintahan BJ Habibie atas rancang-bangun N2130 sebenarnya 'tidak terlalu berlebihan'. Selain karena secara administratif memang Memperindag lebih pas, di lain pihak Rahardi Ramelan tak lain adalah orang dekat BJ Habibie yang diam-diam telah lama ikut mempersiapkan, membidani, serta memberi dukungan terhadap proyek DSTP.
Demikianlah, optimisme IPTN untuk membangun secara mandiri jet komersial kapasitas 80-130 kursi yang sempat meletup-letup sekitar 1995 itu akhirnya kandas sudah. Hal ini dipertegas dengan perkembangan pada 29 September 1999 dimana PT DSTP yang diawaki Saadilah Mursjid (mantan Sekretaris Kabinet) sebagai Dirut, Sudharmono (mantan Wapres RI) sebagai Komisaris, dan sejumlah pejabat dan mantan pejabat lain resmi mengakhiri pergulatannya.
Pada hari itu bertempat di Gedung Granadi, Jakarta, sebagai kelanjutan keputusan likuidasi yang telah dijatuhkan pada tanggal 15 Desember 1998, pihak likuidator persisnya menutup Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa bagi PT DSTP untuk yang terakhir kalinya dengan tiga keputusan. Pertama, adalah melimpahkan HAKI N2130 kepada negara Republik Indonesia. Kedua, mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Likuidator. Dan, ketiga, menyelesaikan masalah pelunasan dan serta pelepasan tanggung-jawab kepada likuidator.
Sesuai keputusan, HAKI N2130 selanjutnya diserahkan kepada negara cq. Presiden RI dimana dalam pengarahannya ditunjuk Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagai lembaga negara yang menerima dan mengelola. HAKI dimaksud adalah berupa rancang-bangun pesawat (preliminary design) N2130, yang belum sempat direalisasikan menjadi pesawat.
70 juta dollar
Preliminary-design sendiri ibarat rancang-bangun rumah mewah yang memiliki nilai jual tertentu meski hanya sebatas data di atas kertas. Seperti pernah dikatakan Dr Ilham A. Habibie, Kepala Divisi IPTN untuk N2130, preliminary design adalah salah satu tahap dalam pembuatan pesawat terbang yang telah menyuguhkan data yang cukup mengenai si pesawat.
Menurut catatan Angkasa, untuk menghasilkan rancang-bangun N2130 ini IPTN telah mengeluarkan tenaga, pikiran, dan uang yang tak kecil. Untuk ini telah dikeluarkan dana lebih dari 70 juta dollar AS. Uniknya, sesuai keputusan RUPSLB 15 Desember 1998, dana bagi ini selanjutnya dianggap 'sunk-cost'.
No comments:
Post a Comment