Thursday, August 28, 2008

Mutiara-mutiara dalam Lumpur

Oleh: Indira Permanasari dan P Bambang Wisudo

Sebuah model pesawat CN 235 berwarna hitam tergantung pada timbangan di langit-langit sebuah ruangan berdinding kaca. Ruangan tersebut bersambungan dengan lorong angin raksasa yang gelap gulita.
Para peneliti di Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Aero-Gasdinamika dan Getaran atau LAGG yang berlokasi di Puspitek Serpong sedang menguji pesawat itu. Satu negara di Eropa rupanya menginginkan laboratorium tersebut menguji sistem pertahanan torpedo pada pesawat dengan menggunakan model itu.
"Kami masih berusaha bertahan dan terus mendapatkan berbagai pekerjaan, termasuk pengujian model pesawat," ujar Surjatin Wiriadidjaya, Kepala LAGG, yang juga adalah Asisten Deputi Urusan Puspitek di Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Sebagian gambaran kolapsnya pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Tanah Air seakan tergambar dalam unit pelaksana teknis yang pada era Soeharto dan Habibie sempat menjadi pusat riset unggulan. Laboratorium itu meredup, terbenam dalam segala kekacauan krisis moneter.
Setelah krisis moneter, untuk penelitian otomatis tidak ada dana. "Anggaran sudah pas-pasan untuk pengeluaran rutin. Sekarang kita sebatas riset menguji, seperti pesawat terbang dalam bentuk model. Juga mengembangkan pesawat terbang murah dalam bentuk prototipe," ujar Surjatin lagi.
Di mulai tahun 1979 dan beroperasi tahun 1988, laboratorium itu semula bertujuan menunjang industri dirgantara dan maritim di Indonesia. Tugas lainnya ialah pengujian, pengkajian, dan penerapan teknologi aerodinamika dan getaran untuk menunjang tugas pokok Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi (BPPT).
Di sana terdapat low speed wind tunnel atau lorong angin guna pengujian model yang, menurut Surjatin, terbesar di Asia Tenggara. Alat dilengkapi berbagai pengukuran dan simulasi yang akurat.
Sebelumnya, unit pelaksana teknis ini berhasil menunjang kegiatan industri pesawat terbang nasional, antara lain, dalam program-program pengembangan produk pesawat CN 235, desain awal pesawat N250 dan N2130, serta kerja sama dengan Boeing dan Fokker.
Sesuai kondisi, pada tahun 2002 dilakukan penyesuaian misi dan visi yang ujungnya menjadikan unit pelaksana teknis itu sebagai lembaga profesional bertaraf internasional. Pada akhirnya, lembaga itu mengutamakan sebagai penyedia jasa, terutama dalam pengujian produk teknologi dalam bidang aerodinamika, gasdinamika, dan getaran.
Mereka juga melakukan diversifikasi sarana aerodinamika ke bidang konstruksi, otomotif, dan lingkungan. Salah satu proyek aktual yang dikerjakan ialah pengukuran Jembatan Surabaya-Madura. Keahlian laboratorium itu memang sudah bergeser ke bidang non-aeronatik seusai kebutuhan industri dan arah kebijakan pemerintah ke depan.

Bersinar
Namun, dalam kondisi serba terbatas, terlebih lagi setelah empasan krisis multidimensional, terdapat riset-riset unggulan yang dengan segala dayanya dan dalam kesepian bergeliat.
Laboratorium pimpinan Adi Santoso yang menjadi bagian dari Pusat Penelitian Bioteknologi di LIPI-Cibinong tak seberapa luas. Ruangan didominasi meja melingkar dengan rak kaca di tengahnya. Tabung-tabung, cawan, alat ukur tersebar di seluruh penjuru meja. Botol-botol berisi bahan kimia tersimpan rapi di rak. Dua kulkas untuk menyimpan bahan kimia dan contoh gen ikut berdesakan.
Ruangan kecil itu dulunya adalah tempat menaruh karung- karung biji-bijian, lengkap dengan tikus-tikus penghuninya. Tempat itu lalu disulap oleh Adi menjadi tempat bekerja yang nyaman, tak lama sepulang dari Amerika Serikat, dua tahun lalu.
Kini, ruangan itu menjadi tempat inkubasi terobosan dalam ilmu biologi molekuler, tak kalah dari para peneliti Barat. Adi dan timnya meneliti tentang human Erythropoeitin (EPO) dengan menggunakan media pembiakan melalui tanaman barley dan ragi (yeast).
Pematangan sel darah membutuhkan EPO dengan proses bertumbuh dan membelah. Tetapi, pada orang gagal ginjal, HIV/AIDS atau kanker, proses pematangan sel darah merah ini terhambat karena kekurangan EPO yang secara alami diproduksi oleh ginjal manusia.
"Dengan teknik western blot, kami sudah berhasil membuktikan ada EPO dalam barley yang dijadikan media pembiakan, tapi belum mengekstraksinya," kata pria yang meraih gelar master dan doktor di AS itu.
Riset yang dilakukan di laboratorium itu merupakan bagian dari pertandingan dunia dalam penciptaan obat-obatan berbasis bioteknologi. Tahun 1999, perputaran uang dalam bidang itu mencapai 18 miliar dollar AS di dunia. Penelitian mengenai hormon mendominasi sekitar 51 persen, dan di dalamnya human EPO mencapai 21 persen. Ini mengalahkan insulin yang sebelumnya primadona penelitian.
Adi ingin laboratorium itu nantinya dapat menyusul keberhasilan Laboratorium Biomolekuler Kedokteran Eijkman.
Lembaga Eijkman yang dibangun tahun 1992 memang berhasil menjadi pelopor penelitian biomolekuler di Tanah Air. Di bawah kepemimpinan (saat ini) Sangkot Marzuki, Eijkman melakukan berbagai penelitian, termasuk salah satu yang ambisius ialah pemeriksaan genetika dikaitkan dengan antropologi.
Pelacakan genetika sangat bermanfaat sebagai referensi pengambilan kebijakan kesehatan di dunia kedokteran. Ilmuwan yang berada di bawah atap Eijkman dididik dan ditumbuhkan budaya penelitian, termasuk penelitian dasar dan pengembangan ilmu bioteknologi.
"Bioteknologi sedang mengalami revolusi. Bagaimana kita dapat membangun bioteknologi kalau tidak menguasai ilmunya. Untuk bioteknologi kompetitif, kita memerlukan dasar keilmuannya," ujar Sangkot.
Ratusan kilometer dari Jakarta, Gede Bayu Suparta dan kelompoknya di grup riset Fisika Citra yang berbasis di Universitas Gadjah Mada (UGM) bahkan terus berkarya secara mandiri. Mereka mengembangkan fisika citra, seperti tomografi komputer, radiografi digital, dan pembangkit listrik aki yang sudah mendapatkan paten.
Kelompok itu berkarya tanpa menggantungkan diri dengan birokrasi. "Sasaran kami ialah membuat sesuatu untuk masyarakat," kata Gede Bayu.
Pendanaan atau perekrutan bersifat dinamis. Gede Bayu Suparta menyatakan, dengan segala strategi, permasalahan dana masih dapat diperjuangkan.
Pendanaan awal merupakan investasi pribadi. Saat dana minim sehingga mengembangkan ide sulit, biasanya kelompok Fisika Citra di UGM itu membuat prototipe dan kemudian mengajukan proposal untuk dana pengembangannya. Jika berhasil, maka berlanjut dengan paten. Dengan segala kondisi itu, mau tidak mau unsur wirausaha terpaksa diselipkan dalam menjalankan penelitian.
Gede Bayu mengajak orang- orang yang berminat dan bersedia meneliti tanpa digaji terlebih dahulu. Mereka meneliti, membuat prototipe, membuat proposal. "Setelah menghasilkan sesuatu, baru hasilnya dibagi rata, dan itu pun untuk dana riset lebih lanjut," ujarnya.
Untuk sumber daya manusia, dia juga memutuskan tidak kaku. Gede Bayu membuat tim- tim kecil dan tidak harus dari dalam institusi perguruan tinggi. Anggotanya terdiri atas tiga dosen dan peneliti, serta tujuh orang di bidang teknis. Yang dipentingkan ialah kemampuan kerja dalam kelompok, dan selebihnya seleksi alam.

Bergulat dalam keterbatasan
Pusat-pusat riset unggulan tersebut bergulat dan berkarya di tengah segala keterbatasan. Adi Santoso, misalnya, sekembalinya dari AS mengaku sempat merasa frustrasi dengan suasana penelitian yang kurang kondusif.
"Sampai kemudian atasan saya memberikan semangat dan meminta saya menulis proposal untuk mendapatkan uang dan bisa penelitian," ujarnya. Risetnya saat ini merupakan salah satu riset unggulan LIPI.
Dengan dana yang diberikan, kebutuhan penelitian biologi molekuler di laboratoriumnya masih dapat terpenuhi. Paling berat justru permasalahan pembelian bahan kimia. Harga bahan kimia di Indonesia tiga kali lipat daripada harga di luar negeri, seperti AS tempat dia belajar dan sempat bekerja.
"Ambil contoh enzim Ecor1 5000 unit yang harganya 45,10 dollar AS. Di Indonesia, kalau beli harganya bisa dua kali lipat. Pemesanannya juga membutuhkan waktu dua bulan, padahal di Amerika paling lama 24 jam pesanan sudah datang. Malam saya telepon, pagi sudah datang. Di sini, bahan-bahan kimia itu diimpor dari luar. Dengan semua peraturan, pesanan kita paling cepat satu bulan baru datang. Lamanya pemesanan itu tentu memengaruhi kenyamanan penelitian juga," ujarnya.
Bahan bacaan sulit pula dicari. Terlebih lagi, dana proyek umumnya tidak termasuk biaya membeli buku. Sebagian besar dana tersedot untuk pembelian bahan kimia.
Permasalahan lainnya ialah arah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara nasional. Terkait pengembangan keilmuan dan teknologi untuk mengembangkan bioteknologi, misalnya, harus diputuskan jenis bioteknologi yang diinginkan sebagai program unggulan nasional. "Apakah terbatas untuk memecahkan permasalahan kesehatan dan pangan?" ujar Sangkot Marzuki.
Di laboratoriumnya yang sepi, Surjatin tidak mengeluhkan dana dan fasilitas. Hanya saja, ia menyayangkan berkurangnya generasi muda di bidang tersebut. Mereka selalu dituntut untuk meneliti dan menelurkan hasil. Tidak boleh membuat kesalahan atau bereksperimen karena dana minim.
Padahal, sebagai peneliti muda, mereka harus bereksperimen sebanyak mungkin dan belajar dari percobaan-percobaan itu. Akibatnya, peneliti muda kurang mendapat tantangan. Tak heran jika kemudian banyak dari mereka yang tidak berminat, kehilangan gairah meneliti, atau memilih berkarya di luar negeri.
Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut dia, tak lepas dari struktur industri. "Jika industri dalam negeri dinamis, pasti mereka mencari kita. Dalam hal ini industri besar, berkonsep maju, menghargai karya anak bangsa, serta bukan bagian dari perusahaan multinasional. Mereka itu yang membutuhkan kita," ujarnya, seraya berharap agar pengalaman pahit itu tidak terulang lagi.

Sumber: Kompas, Rabu, 03 Mei 2006

No comments: