Oleh: HARIADI SAPTONO
Ini cerita tentang empat raja. Tahun 1985-an, Kaisar Jepang Hirohito (1901-1989) masuk koran dan televisi, bukan karena ia membuat keputusan politik penting. Liputan koran dan televisi, agak khusus ketika itu: menceritakan beberapa ekor ikan koki, spesies khusus yang digambarkan sangat indah, hasil rekayasa biologi yang dikerjakan Sang Kaisar yang pakar biologi laut itu. Tentu saja, tamu negara itu sangat terkesan pada Kaisar yang membukukan sendiri hasil-hasil penelitiannya itu.
Cerita kedua datang dari Sangkot Marzuki (Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam Diskusi Panel Harian Kompas tentang Raja Chulalonkhorn atau Rama V (1835-1910), ahli astronomi. Tradisi keilmuan di kalangan kerajaan digunakannya untuk mengundang sejumlah duta besar negara Barat untuk membuktikan ramalannya tentang gerhana bulan.
"Benar saja, mereka kemudian menunggu di tepi sungai menyaksikan malam gerhana bulan itu benar- benar terjadi," kata Direktur Lembaga Biologi Mulekuler Eijkman, Jakarta, itu tentang Raja Thailand, yang menghadiahkan patung gajah di Museum Gajah Jakarta itu.
Kalau sang kakek buyut bisa memprediksi detik-detik gerhana bulan, cicitnya Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX), sebulan lalu bisa meredakan gerhana politik. Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra kontan bertekuk lutut, dan menyatakan diri mundur dari tampuk kekuasaan setelah sang Raja memintanya memikirkan kepentingan rakyat. Raja keempat, di kaki Gunung Himalaya, Gyanendra, justru terlibat dalam pertengkaran politik dalam negeri Nepal dengan rakyatnya sendiri.
Cerita tentang "Raja Gerhana Bulan" tadi, menurut Sangkot, merupakan anekdot bagus, bagaimana leadership itu amat penting, bukan cuma dalam orientasi politik, tetapi juga dalam ayunan ke mana strategi sains dan teknologi suatu bangsa akan digerakkan. Cerita tiga raja pertama tadi niscaya merupakan kenangan indah bagi anak bangsa, dan menguatkan mereka, bagaimana kerja keras ilmuwan yang sepi dari publikasi dan sering juga tanpa imbalan memadai, sebenarnya memberi sumbangan besar suatu saat.
Itu sebabnya, peserta diskusi setengahnya ragu, benarkah negeri lain juga punya agenda terstruktur, semacam grand strategy dalam pengembangan sains dan teknologi. Itu setidaknya muncul dalam diskusi pakar fisika Johanes Surya (moderator), peneliti ilmu sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Thung Julan, Wakil Ketua LIPI Lukman Hakim, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, serta Kepala Pusdiklat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Nadirah.
Sains dan teknologi atau iptek tidak menjadi prioritas dalam sepuluh tahun terakhir. Secara agak mengherankan, di zaman Orde Baru dulu, program pengembangan sains dan teknologi—khususnya pengiriman mahasiswa dan tenaga-tenaga terdidik ke luar negeri—malahan dijalankan selama 18 tahun, sejak tahun 1985. Tiga program utamanya, OFP (Overseas Fellowship Program), STMDP (Science and Technology Manpower Development Program), dan STAID (Science and Technology for Industrial Development) dengan dana masing-masing dari Bank Dunia, Jepang, dan gabungan Bank Dunia dan Jepang itu, setidaknya telah memberi beasiswa 1.500-an pegawai lembaga-lembaga penelitian nondepartemen, 400 mahasiswa, dan 2.445 mahasiswa lain.
Bayangkan, 21 tahun lalu, Indonesia memiliki program terstruktur, dan dalam negeri dikembangkan infrastruktur industri strategis, sinergi antara pengembangan sains dan penerapannya di dalam negeri. "Waktu Indonesia punya science policy, seingat saya Amerika tidak punya National Science Policy, ya? Yang resmi tidak punya dia, mereka malah mengatakan, Indonesia hebat ini, punya Formal National Science Policy begitu. Dan saya enggak yakin sekarang pun, apa, misalnya, Thailand itu punya grand strategy. Itu kebanyakan keluar dari insting mereka, karena budaya keilmuan mereka itu hidup dari dulu sampai sekarang," kata Sangkot. Ilmuwan Jepang malahan dinilai agak rendah kreativitasnya. Mereka lebih banyak mengembangkan sesuatu sehingga lebih baik dari asalnya.
Feeling tentang perlunya lembaga sains dan teknologi sudah muncul di era Soekarno, ketika ia mendirikan MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), yang kelak menjadi LIPI, serta MITI (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia) yang didirikannya.
Tahun 1990-an, Bandung sebagai tempat IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio/Nusantara) berada, dianggap dunia internasional sebagai The Next Silicon Valley, padahal Bangalore kawasan pusat teknologi informasi India belum amat berpengaruh seperti sekarang. Sekarang, IPTN yang berubah menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia), nyaris tak terberitakan.
Harus diakui, pengembangan sains dan teknologi menemukan momentumnya di saat BJ Habibie menjabat Menteri Ristek di bawah Presiden Soeharto. Konsepnya "berawal dari akhir, dan berakhir dari awal", menunjukkan prioritas dan visinya pada teknologi tinggi. Ia memilih langsung pada teknologi tinggi, dengan empat tahapan alih teknologi: pertama, memproduksi pesawat terbang berdasarkan lisensi utuh dari industri pesawat terbang lain, kedua memproduksi pesawat terbang secara bersama-sama (hasilnya pesawat Tetuko CN-250), ketiga mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem konstruksi pesawat paling mutakhir menjadi sesuatu yang sama sekali baru (pesawat Gatotkoco N-250), dan keempat memproduksi pesawat terbang berdasarkan hasil riset kembali dari awal. Diproyeksikan, produknya N-2130. Program itu belum terwujud karena Indonesia dilanda krisis ekonomi.
Meski mungkin tetap mengundang polemik, tidak bisa disangkal, suasana, gairah, dan agenda pengembangan sains dan teknologi yang bersemangat, terpacu oleh strategi politik Soeharto lewat Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Di sisi lain, bagian dari usahanya memperkukuh status quo, dan meluasnya faham "pembangunan merata" ketika itu. Bagi sejumlah negara, sebutlah Malaysia, Afrika Selatan, atau negara ketiga lainnya, konsep Soeharto ternyata menjadi model. Tetap, dengan polemik dan kontroversinya.
Itulah sebabnya, diakui oleh Lukman Hakim, sains dan iptek di zaman Soeharto-Habibie, subur menumbuhkan kultur sains: anak-anak dan mahasiswa punya idola Habibie, dan mereka bergairah maju jadi ilmuwan. Sebutlah, istilah tinggal landas, lepas landas, begitu terang ketika itu. Kini, arah dan panduan bernegara seperti itu nyaris tidak terdengar pasca- reformasi. Sejak itu, yang terjadi justru besarnya tingkat konsumsi bangsa ini. Lukman mengatakan, dalam kurun 10 tahun sejak 1998, perbandingan belanja iklan masyarakat dibandingkan dengan anggaran iptek sangat njomplang, tak sebanding. Begitu kecilnya budget untuk iptek (Lihat tabel)! Rincian pada empat sektor kian menunjukkan sedang turun dan mundurnya perhatian pemerintah pada sains dan teknologi (lihat Grafis). "Tahun 1978 belanja iklan masyarakat Rp 3,76 triliun, dan tahun 2006 sudah Rp 28 triliun. Anda perhatikan, yang paling keras beriklan itu adalah produk-produk yang terancam, rokok dan air lines."
Padahal, tanpa industri kompetitif, sebuah negara tak akan maju karena di dalamnya terkandung technological capability. Lukman melihat perlunya membangun litbang-litbang kerajinan rakyat—tidak bisa hanya yang berteknologi tinggi, karena ini dekat dengan kebutuhan, dan sumber daya saing rakyat.
Masalahnya, bagaimana merancang dan mengawal agar program pemerintah sejalan dengan swasta, dan kepentingan masyarakat. Meskipun, sekali lagi, riset dan pengembangan sains tidak mesti terapan, atau populis. Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, pekan lalu, dengan tegas mengatakan, porsi pemberitaan untuk pengembangan sains dan teknologi kurang. "Kapan wartawan mau ikut saya, banyak sekali hal yang harus kami sosialisasikan," ujar Kusmayanto yang terus-terang mengakui, zamannya kini berbeda dengan zaman Habibie.
Dalam Visi Misi Iptek 2025, Kantor Menneg Ristek menetapkan Iptek sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan dan peradaban bangsa, dengan enam fokus program (2005-2009) pencapaian iptek: teknologi ketahanan pangan dan pertanian, teknologi energi (energi alternatif dan terbarukan), transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan dan obat-obatan, serta pertahanan.
Jika awalnya, bangsa ini merancang dan bergerilya sendiri mencari model pegembangan sains dan teknologi, sekarang ini ternyata kita terpaksa napak tilas, menyusur jejak masa lalu, tetapi harus menemukan momentum baru. Karenanya, yang dibutuhkan sebenarnya manajer andal, punya fokus dan komitmen, dan membela rakyat banyak.
Sumber: Kompas, Rabu, 03 Mei 2006