PADA satu masa Everett, satu kota tak jauh dari Seattle di negara bagian Washington, Amerika Serikat, adalah nama harum dalam dunia kedirgantaraan. Di sinilah terdapat pabrik pesawat raksasa Amerika, Boeing Co, yang dikenal sebagai pembuat pesawat jumbo 747.
Sayang, pamor Everett meredup setelah Boeing memindahkan kantor pusatnya dari Seattle ke Chicago. Jumlah karyawan yang bekerja di pabrik di Everett pun turun tajam, dari 33.500 menjadi 18.000 orang.
Keinginan negara bagian Washington untuk bangkit lagi muncul ketika Boeing mengumumkan akan membuat pesawat penumpang generasi baru yang sementara diberi kode 7E7. Hanya saja keinginan itu masih harus diperjuangkan karena sejumlah negara bagian lain, seperti California, Texas, dan Georgia, ingin pula dijadikan sebagai situs manufakturing 7E7 yang hemat bahan bakar ini.
Mengapa situs produksi diperebutkan? Karena ia akan membuka lapangan kerja baru bagi 20.000 orang dan proyek itu akan mengucurkan 1,5 miliar dollar AS ke wilayah yang terpilih.
Mengingat hal itulah, pihak yang berkampanye untuk memulihkan pamor Washington mencakup banyak lapisan masyarakat, khususnya serikat pekerja. Pimpinan mereka, misalnya, membagikan poster yang dibawa pada pawai, bertuliskan "We can do it. Land the 7E7 and build Washington".
Nasib Everett, Seattle, dan negara bagian Washington memang kurang beruntung. Selain ditinggal pindah ke Chicago, wilayah itu juga kena dampak ketika Boeing melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas ribuan karyawan dalam beberapa tahun terakhir, lebih-lebih pascaserangan 11 September 2001 dan terus menguatnya penguasaan pasar oleh Airbus, pesaing utamanya dari Eropa.
Ringkasnya, suasana umum di kawasan Everett, Seattle, dan Washington bernuansa murung. Tidak ada perasaan aman menyangkut pekerjaan karena sewaktu-waktu mereka bisa dikenai PHK. Demikian Jane Hodges dalam The Seattle Times (4/6/2003).
Situasi memang ditengarai memburuk, dengan pesanan pesawat terbang menurun tajam beberapa waktu terakhir ini. Apalagi Boeing juga sudah mengeluarkan pengumuman bahwa pihaknya akan lebih bertindak sebagai integrator, yaitu dengan mengimpor bagian-bagian yang sudah dibuat di luar negeri, dan dengan itu juga melakukan perakitan lebih sedikit.
Di satu pihak, kini memang ada globalisasi dan outsourcing dalam produksi pesawat. Di pihak lain, upaya efisiensi tersebut harus mengorbankan kepentingan lapangan kerja penduduk lokal yang di masa lalu amat dimanjakan oleh pabrik raksasa ini.
ZAMAN memang telah berubah. Boeing dulu makmur, kini susah. Pesanan melorot, saingan menghebat.
Rupanya, apa yang terjadi di "Everett di Barat" itu juga dialami oleh "Everett di Timur". Julukan "Everett of the East" ini dulu sempat dilekatkan pada PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Bandung semasa era kejayaannya pada dekade 1980-an.
Kejayaan itu sendiri dimulai ketika tahun 1974 Bacharuddin Jusuf Habibie kembali ke Indonesia setelah sejak tahun 1950-an studi di Jerman. Doktor dalam bidang konstruksi pesawat terbang inilah-yang waktu itu berusia 37 tahun-yang ditugasi oleh Presiden Soeharto untuk merintis pendirian industri pesawat terbang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1976.
Berbekal apa yang ia yakini sebagai visi kedirgantaraan bagi Indonesia-yang lalu sering ia sebut sebagai arkipelago paling besar di dunia-Habibie bisa mewujudkan cita-citanya dengan mendapat modal awal dari Divisi Teknologi Tinggi dan Teknologi Penerbangan Pertamina.
Waktu itu ia hanya mewarisi aset sederhana yang ditinggalkan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) Bandung. Setelah dia banyak ditolak tatkala minta izin lisensi, akhirnya Habibie bisa mendapat kepercayaan dari Construciones Aeronauticas Space Administration (CASA) Spanyol untuk merakit pesawat angkut ringan C-212 Aviocar. Masa perakitan ini-yang dalam kerangka teoretisnya sering ia sebut Tahap Pertama Transformasi Teknologi/Industri bercorak Progressive Manufacturing -dilengkapi perakitan helikopter Jerman Bo-105.
Tiga tahun setelah berdiri, PT Nurtanio juga menang kontrak untuk memproduksi helikopter Perancis, Puma SA-330, dan Super Puma SA-332. Tahun 1979 itu pula perusahaan ini bersama mitra Spanyol-nya mendirikan perusahaan patungan Airtech Industries untuk membuat dan memasarkan produk bersama CN-235.
Pamor industri penerbangan yang pada tahun 1984 berganti nama dari PT Nurtanio menjadi PT IPTN ini makin terang, menyusul diperluasnya kontrak lisensi dengan Bell Helicopter Textron Inc dan MBB, terutama setelah kontrak pembelian jet F-16 oleh Indonesia. Jet yang waktu itu masih dibuat oleh General Dynamics itu memberi IPTN imbal produksi (offset) sebesar 35 persen dari harga pesawat yang 168 juta dollar AS.
Kepercayaan itu membuat pimpinan IPTN berani membesarkan jumlah karyawan, dari 500 orang pada saat berdirinya menjadi 15.000 orang (1987), dan sekitar 16.000 orang pada tahun 1990-an. Saat itu pula sempat diproyeksikan jumlah karyawan IPTN akan menjadi 60.000 orang dalam 20 tahun berikut.
SESUNGGUHNYA, menyusuri riwayat PT Nurtanio/IPTN, orang tidak semuanya menemukan riwayat muram. Bisa dipercaya dan bisa merakit pesawat dan helikopter saja mungkin sudah satu prestasi bagi bangsa yang satu saat di masa lalu sempat dijuluki "bangsa kuli" ini. Tetapi, dari bangsa ini pula lalu bisa muncul produk seperti CN-235 yang rekayasa tekniknya banyak dilakukan oleh insinyur muda Indonesia. CN-235 kemudian cukup banyak dibuat baik dalam versi sipil maupun militer, yang bisa dipersaingkan dengan pesawat ATR-42, Dash7/8, atau Fokker 27.
Puncak penguasaan teknologi sendiri dicapai dengan pembuatan N-250 yang menggunakan teknologi fly-by-wire.
Untuk pencapaian ini, berbagai pameran kedirgantaraan-mulai dari Asian Aerospace di Singapura, Farnborough International di Inggris, dan Salon Le Bourget-Paris di Perancis- bisa menjadi saksi atas tampilnya karya Indonesia ini di panggung kedirgantaraan terkemuka dunia tersebut.
Hanya saja, pencapaian teknologi tersebut tidak serta-merta berujung pada pembelian. Inilah yang lalu melahirkan ungkapan sinis bahwa Tetuko (nama prototipe CN-235 pemberian Soeharto) itu-dalam bahasa Jawa-adalah "Sing teko ra tuku-tuku, sing tuku ra teko-teko" (Yang datang tidak kunjung beli, yang beli tak kunjung datang).
Sementara itu, kondisi yang menghadang tidak main-main. Situasi yang dihadapi IPTN waktu itu, dan kemudian PT Dirgantara Indonesia (DI), adalah bayangan pendapatan terus menjadi fantasi dan elusif (sulit dipegang), sementara cost itu keniscayaan.
Lalu modal sebesar Rp 1,6 triliun yang diberikan pada tahun 1986 berangsur-angsur susut. Operasionalnya sendiri dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), dan untuk menyelamatkan perusahaan dulu sempat disebut-sebut penggunaan dana reboisasi sebesar Rp 400 miliar (Lihat misalnya The Jakarta Post, 14/7).
Situasi seperti itu jelas kontras dengan pencapaian teknologi yang, kalau sejarah tidak menghentikannya, masih akan berbuntut dengan program jet N-2130-pesawat penumpang bermesin jet dua untuk 130 penumpang. Perusahaan bagi program ini sempat didirikan dan masyarakat diundang untuk membeli sahamnya.
Pada pihak lain juga perlu dipahami bahwa industri kedirgantaraan bersifat amat kompetitif, sangat menuntut teknologi tinggi, dan kapital yang sangat besar-selain tentu saja manusia-manusia yang unggul dan menguasai teknologi.
AS yang dikenal sebagai penguasa berbagai teknologi, dan satu demi satu telah direbut oleh bangsa lain-seperti otomotif oleh Jepang, dan kini aeronautika oleh Eropa-tidak pernah suka ada bangsa lain yang terus mengusiknya di bidang-bidang keunggulan itu. Kedirgantaraan dan informatika mungkin masih tetap bisa dikatakan sebagai wujud the last frontier bagi Amerika yang harus dipertahankan mati-matian.
Akan tetapi, di negara adidaya ini pun restrukturisasi industri terjadi. General Dynamics sekarang telah ditelan oleh Lockheed Martin, sementara McDonnell Douglas telah ditelan Boeing. Melihat konsolidasi seperti itu, Eropa juga tak mau kalah. Juli 2000 lahir EADS (European Aeronautic Defence and Space Company) yang merupakan penggabungan Daimler-Chrysler AG Jerman, Aerospatiale Matra Perancis, dan CASA Spanyol.
DI tengah kompetisi yang seperti itulah PT DI meredup. Kemarin mesin numerik komputernya yang canggih, yang dulu banyak dipakai untuk membuat bagian-bagian pesawat yang rumit, mungkin telah dipakai untuk membuat panci dan antena parabola. Pesanan masih datang satu-satu, seperti dari Korea. Tetapi, tidak jarang penalti datang karena jadwal meleset. Modal untuk pembelian bahan pun semakin seret karena kredit tidak mudah mengucur untuk perusahaan di negara yang dilanda keruwetan seperti Indonesia. Sementara penjualan juga tidak mudah, mengingat umumnya calon pembeli meminta kredit pembelian yang disiapkan oleh penjual.
Sementara itu, tidak lama lagi pesawat generasi baru, yang kecil maupun yang superbesar seperti Airbus A-380, muncul dalam kurun dua-tiga tahun lagi.
Indonesia sebagai produsen pesawat terbang mungkin segera tenggelam bila PT DI tidak mendapat solusi jitu. Kalau ini yang terjadi, betapa pun itu merupakan konsekuensi dari inefisiensi dan ketidakberuntungan, akan dicatat sebagai hal tragis.
Tragis, karena PT DI sebenarnya sudah memiliki banyak kemampuan. Selain itu, tanpa industri kedirgantaraan, Indonesia akan kembali ke era pra-1976, ketika pesawat berbagai jenis, dari berbagai pabrik, dari berbagai negara, menerbangi udara Indonesia.
Inilah masa yang menentukan, inilah predicament, tidak saja bagi PT DI, tetapi juga bagi pemikiran idiil bangsa Indonesia. Inilah saat untuk menjawab pertanyaan, "Benarkah membuat pesawat terbang itu ahistoris bagi bangsa Indonesia?" sehingga ia tak punya peluang untuk hidup di sini.
Sumber: Kompas, Rabu, 15 Juli 2003
Thursday, August 28, 2008
Dulu, PT DI Dijuluki "Everett dari Timur"
Labels:
Opinion
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment