Yasmi Adriansyah
Diplomat Indonesia di Jenewa, Alumnus Oxford University
Sebut saja namanya Handoyo. Ia adalah warga Indonesia yang pada 2005 lalu bersamaan dengan penulis menuntut ilmu di Oxford University, Inggris. Dalam usia muda, 25 tahun, ia belajar pada tingkat doktoral departemen fisika. Mengagumkan. Lebih mengagumkan lagi, pada masa sekolah menengah atas ia pernah mengharumkan nama Indonesia dengan menjadi pemenang pada olimpiade fisika internasional. Jadi, kalau dalam usia muda ia telah menempuh studi pada jurusan bergengsi di salah satu universitas tertua dunia tersebut, semuanya adalah rangkaian prestasi yang layak membanggakan negeri.
Namun, ketika ditanya rencana ke depan pascastudi doktoral di Oxford University, ia menjawab akan mencari kerja di luar negeri, baik sebagai peneliti, pengajar, maupun berkiprah di perusahaan multinasional. Ia tidak merencanakan untuk kembali ke Tanah Air. Paling tidak, kembali ke Indonesia bukanlah prioritas bagi dirinya.
Kontradiksi
Fenomena Handoyo hanyalah sedikit contoh kepergian sumber daya intelektual Indonesia ke belahan bumi yang lain (brain drain). Prestasi Handoyo dalam bidang akademis tentu membanggakan. Di sisi lain, keputusannya untuk tidak kembali ke Indonesia merupakan kehilangan yang tidak kecil bagi negeri kita. Sebuah kontradiksi yang menyedihkan.
Indonesia sejatinya merupakan salah satu negara produsen intelektual muda yang brilian. Prestasi baru-baru ini yang membanggakan adalah kemenangan Tim ITB pada Imagine Cup di Berlin, Jerman, dan perolehan lima medali emas siswa SD Indonesia pada Elementary Contest for Math di Hong Kong. Kemenangan tersebut bak oase sejuk di tengah panasnya gunjang-ganjing Tanah Air yang tidak selalu indah. Kemenangan mahasiswa ITB dan siswa SD Indonesia menambah deretan prestasi putra-putri bangsa pada tingkat internasional.
Di sisi lain, penyikapan kita sebaiknya tidak berhenti pada sikap berbangga hati. Sikap terpenting adalah jangan sampai prestasi tersebut hilang karena tidak dihargai. Jika itu yang terjadi, besar kemungkinan Handoyo-Handoyo lain akan terus mengikuti. Para peraih prestasi pun selayaknya tidak menunggu diberikan penghargaan dan pekerjaan layak. Mereka justru dituntut selalu inventif dan inovatif, meneruskan keilmuan sekaligus menciptakan produk yang dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis. Mereka diharapkan mampu menjaga aset kecerdasannya dan memberi nilai tambah pada kesejahteraan masyarakat.
Menjaga aset intelektual
Belajar dari pengalaman negara-negara maju, salah satu cara mereka dalam menjaga aset kecerdasan dan memberi nilai ekonomis atas aset adalah melalui perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI), khususnya melalui sistem paten jika terkait teknologi atau kekayaan intelektual industri. Jika ditilik dari catatan lima tahun terakhir dari statistik aplikasi paten internasional, mayoritas negara yang selalu mencatatkan nilai tertinggi adalah negara maju (WIPO, 2008. International Patent System, Developments and Performance in 2007). Karena itulah lazim kita dengar bahwa negara maju identik dengan negara yang memiliki dan menguasai industri bermuatan teknologi.
Jika merujuk pada referensi tersebut maka cara pertama bagi putra-putri Indonesia dalam menjaga aset intelektual adalah melalui proses penemuan dan inovasi berkelanjutan dan kemudian mendaftarkan temuan atau inovasinya ke dalam sistem paten. Dengan terdaftarnya temuan atau inovasi tersebut ke dalam sistem paten, ada perlindungan atas suatu temuan inventif atau inovatif sehingga tercipta sebuah pengakuan dan penghargaan.
Melalui sistem paten, sebuah temuan atau inovasi produk teknologi diharuskan mempunyai manfaat terapan pada industri. Dengan persyaratan ini, sebuah temuan atau inovasi yang telah dipatenkan selayaknya mempunyai nilai ekonomis, paling tidak bagi penemunya dan industri yang menggunakannya. Sebagai konsekuensi logis, jika di suatu negara terdapat banyak penemu dan atau inovator, bisa dibayangkan kontribusi mereka terhadap pertumbuhan eksponensial perekonomian negaranya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah memungkinkan putra-putri Indonesia mampu bersaing secara internasional dengan negara maju melalui sistem paten? Apalagi kompetensi negara maju, baik dari sisi teknologi, sumber daya manusia maupun fasilitasi aktivitas penelitian, jauh melampaui kapasitas negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Asumsi di atas di satu sisi memang tidak salah, tetapi bisa dikatakan tidak sepenuhnya benar. Salah satu negasi yang konkret adalah fenomena Korea Selatan. Sekitar 40 tahun lalu, negara itu masih parah, bahkan bisa disejajarkan dengan kondisi perekonomian mayoritas negara Afrika saat ini. Namun, Korsel kini telah memasuki kondisi perekonomian yang bahkan sudah bisa disetarakan dengan negara maju. Salah satu bukti majunya Korsel adalah tingginya kuantitas aplikasi paten internasional. Dalam lima tahun terakhir ini aplikasi paten internasional Korsel berada dalam kisaran lima tertinggi di dunia, bersama-sama AS, Jepang, dan Jerman. (WIPO, 2008. Ibid).
Hal lain yang dapat dimanfaatkan negara berkembang dari sistem paten internasional adalah adanya skema ‘fleksibilitas’. Melalui skema ini, baik yang dimuat di dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property maupun Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), standar perlindungan paten dapat disesuaikan dengan tingkat pembangunan masing-masing negara.
Berdasarkan hal tersebut, negara seperti Indonesia sejatinya juga mempunyai kesempatan yang sama. Jika putra-putri kita mampu bersaing dalam ajang kompetisi ilmiah antarbangsa, adalah logis jika mereka juga mampu bersaing dalam sistem paten internasional.Berangkat dari keyakinan di atas maka sudah selayaknya terus dipikirkan untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas aset intelektual bangsa melalui sistem perlindungan HKI, khususnya paten. Ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, proses penelitian teknologi di universitas atau sekolah-sekolah tinggi harus lebih intensif diarahkan ke dalam sistem paten. Dalam konteks tersebut, dunia pendidikan tinggi perlu lebih menyeimbangkan pendidikan HKI dari pendekatan hukum kepada pendekatan teknologi. Berdasarkan sejumlah kajian, pendidikan HKI di banyak negara berkembang lebih ditekankan pada aspek proteksi (hukum) dan kurang memerhatikan dimensi penemuan atau inovasi teknologi. Kini merupakan keniscayaan bagi subjek HKI untuk diajarkan di institut-institut teknologi atau di bawah fakultas-fakultas teknik agar lebih tercipta keseimbangan yang bermanfaat.
Kedua, dunia industri memainkan peranan sangat penting selaku pihak yang kelak akan mengeksploitasi produk-produk yang telah dipatenkan. Oleh karena itu kerja sama antara dunia industri dan civitas akademika merupakan sebuah potensi yang perlu lebih didayagunakan. Kerja sama bisa dimulai dari pembiayaan penelitian yang dianggap prospektif sampai dengan proses negosiasi pemberian lisensi yang bernilai ekonomis. Terakhir, peranan pemerintah selaku regulator dan fasilitator merupakan subjek penting yang harus terus dijaga kinerjanya.
Selain berperan sebagai pihak yang berwenang memberikan hak atas kekayaan intelektual, pemerintah perlu lebih memberikan perhatian pada komunitas civitas akademika yang kerap menjerit akibat minimnya alokasi anggaran pengembangan riset dan teknologi.Peranan yang tak kalah penting dari pemerintah adalah untuk tidak pernah lelah memberikan kesadaran dan keyakinan bagi masyarakat bahwa sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi keilmuan dan teknologi yang tidak kecil. Dalam konteks tersebut, intelektual-intelektual muda kita sudah membuktikannya. Jika ketiga unsur utama tadi, yaitu universitas, dunia industri, dan pemerintah, mampu terus bersinergi, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sumber: Republika, Jumat, 25 Juli 2008.
No comments:
Post a Comment